Senin, 17 Maret 2014

Makna Tembang Macapat

TRIWIKRAMA

Triwikrama adalah tiga langkah “Dewa Wisnu” atau Atma Sejati (energi kehidupan) dalam melakukan proses penitisan. Awal mula kehidupan dimulai sejak roh manusia diciptakan Tuhan namun masih berada di alam sunyaruri yang jenjem jinem, dinamakan sebagai zaman kertayuga, zaman serba adem tenteram dan selamat di dalam alam keabadian. Di sana roh belum terpolusi nafsu jasad dan duniawi, atau dengan kata lain digoda oleh “setan” (nafsu negatif). Dari   alam keabadian selanjutnya roh manitis yang pertama kali yakni masuk ke dalam “air” sang bapa, dinamakanlah zaman tirtayuga. Air kehidupan (tirtamaya) yang bersemayam di dalam rahsa sejati sang bapa kemudian menitis ke dalam rahim sang rena (ibu). Penitisan atau langkah kedua Dewa Wisnu ini berproses di dalam zaman dwaparayuga. Sebagai zaman keanehan, karena asal mula wujud sukma adalah berbadan cahya lalu mengejawantah mewujud menjadi jasad manusia. Sang Bapa mengukir jiwa dan sang rena yang mengukir raga. Selama 9 bulan calon manusia berproses di dalam rahim sang rena dari wujud badan cahya menjadi badan raga.  Itulah zaman keanehan atau dwaparayuga. Setelah 9 bulan lamanya sang Dewa Wisnu berada di dalam zaman dwaparayuga. Kemudian langkah Dewa Wisnu menitis yang terakhir kalinya, yakni lahir ke bumi menjadi manusia yang utuh dengan segenap jiwa dan raganya. Panitisan terakhir Dewa Wisnu ke dalam zaman mercapadha. Merca artinya panas atau rusak, padha berarti papan atau tempat. Mercapadha adalah tempat yang panas dan mengalami kerusakan. Disebut juga sebagai Madyapada, madya itu tengah padha berarti tempat. Tempat yang berada di tengah-tengah, terhimpit di antara tempat-tempat gaib. Gaib sebelum kelahiran dan gaib setelah ajal.

KIDUNG PANGURIPAN

“SAKA GURU”

Nah, di zaman Madya atau mercapadha ini manusia memiliki kecenderungan sifat-sifat yang negatif. Sebagai pembawaan unsur “setan”, setan tidak dipahami sebagai makhluk gaib gentayangan penggoda iman, melainkan sebagai kata kiasan dari nafsu negatif yang ada di dalam segumpal darah (kalbu).  Mercapadha merupakan perjalanan hidup PALING SINGKAT namun PALING BERAT dan SANGAT MENENTUKAN kemuliaan manusia dalam KEHIDUPAN SEBENARNYA yang sejati abadi azali. Para perintis bangsa di zaman dulu telah menggambarkan bagaimana keadaan manusia dalam berproses mengarungi kehidupan  di dunia selangkah demi selangkah yang dirangkum dalam tembang macapat (membaca sipat). Masing-masing tembang menggambarkan proses perkembangan manusia dari sejak lahir hingga mati. Ringkasnya, lirik nada yang digubah ke dalam berbagai bentuk tembang menceritakan sifat lahir, sifat hidup, dan sifat mati manusia sebagai sebuah perjalanan yang musti dilalui setiap insan. Penekanan ada pada sifat-sifat buruk manusia, agar supaya tembang tidak sekedar menjadi iming-iming, namun dapat menjadi pepeling dan saka guru untuk perjalanan hidup manusia. Berikut ini alurnya :

1. MIJIL

Mijil artinya lahir. Hasil dari olah jiwa dan raga laki-laki dan perempuan menghasilkan si jabang bayi. Setelah 9 bulan lamanya berada di rahim sang ibu, sudah menjadi kehendak Hyang Widhi si jabang bayi lahir ke bumi. Disambut tangisan membahana waktu pertama merasakan betapa tidak nyamannya berada di alam mercapadha. Sang bayi terlanjur enak hidup di zaman dwaparayuga, namun harus netepi titah Gusti untuk lahir ke bumi. Sang bayi mengenal bahasa universal pertama kali dengan tangisan memilukan hati. Tangisan yang polos, tulus, dan alamiah bagaikan kekuatan getaran mantra tanpa tinulis. Kini orang tua bergembira hati, setelah sembilan bulan lamanya menjaga sikap dan laku prihatin agar sang rena (ibu) dan si ponang (bayi) lahir dengan selamat. Puja puji selalu dipanjat agar mendapat rahmat Tuhan Yang Maha Pemberi Rahmat atas lahirnya si jabang bayi idaman hati.

2. MASKUMAMBANG

Setelah lahir si jabang bayi, membuat hati orang tua bahagia tak terperi. Tiap hari suka ngudang melihat tingkah polah sang bayi yang lucu dan menggemaskan. Senyum si jabang bayi membuat riang bergembira yang memandang. Setiap saat sang bapa melantunkan tembang pertanda hati senang dan jiwanya terang. Takjub memandang kehidupan baru yang sangat menantang. Namun selalu waspada jangan sampai si ponang menangis dan demam hingga kejang. Orang tua takut kehilangan si ponang, dijaganya malam dan siang agar jangan sampai meregang. Buah hati bagaikan emas segantang. Menjadi tumpuan dan harapan kedua orang tuannya mengukir masa depan. Kelak jika sudah dewasa jadilah anak berbakti kepada orang tua, nusa dan bangsa.

3. KINANTI

Semula berujud jabang bayi merah merekah, lalu berkembang menjadi anak yang selalu dikanthi-kanthi kinantenan orang tuannya sebagai anugrah dan berkah. Buah hati menjadi tumpuan dan harapan. Agar segala asa dan harapan tercipta, orang tua selalu membimbing dan mendampingi buah hati tercintanya. Buah hati bagaikan jembatan, yang dapat menyambung dan mempererat cinta kasih suami istri. Buah hati menjadi anugrah ilahi yang harus dijaga siang ratri. Dikanthi-kanthi (diarahkan dan dibimbing) agar menjadi manusia sejati. Yang selalu menjaga bumi pertiwi.

4. SINOM

Sinom isih enom. Jabang bayi berkembang menjadi remaja sang pujaan dan dambaan orang tua dan keluarga. Manusia yang masih muda usia. Orang tua menjadi gelisah, siang malam selalu berdoa dan menjaga agar pergaulannya tidak salah arah. Walupun badan sudah besar namun remaja belajar hidup masih susah. Pengalamannya belum banyak, batinnya belum matang, masih sering salah menentukan arah dan langkah. Maka segala tindak tanduk menjadi pertanyaan sang bapa dan ibu. Dasar manusia masih enom (muda) hidupnya sering salah kaprah.

5. DHANDANGGULA

Remaja beranjak menjadi dewasa. Segala lamunan berubah ingin berkelana. Mencoba hal-hal yang belum pernah dirasa. Biarpun dilarang agama, budaya dan orang tua, anak dewasa tetap ingin mencobanya. Angan dan asa gemar melamun dalam keindahan dunia fana. Tak sadar jiwa dan raga menjadi tersiksa. Bagi anak baru dewasa, yang manis adalah gemerlap dunia dan menuruti nafsu angkara, jika perlu malah berani melawan orang tua. Anak baru dewasa, remaja bukan dewasa juga belum, masih sering terperdaya bujukan nafsu angkara dan nikmat dunia. Sering pula ditakut-takuti api neraka, namun tak akan membuat sikapnya  menjadi jera. Tak mau mengikuti kareping rahsa, yang ada selalu nguja hawa. Anak dewasa merasa rugi bila tak mengecap manisnya dunia. Tak peduli orang tua terlunta, yang penting hati senang gembira. Tak sadar tindak tanduknya bikin celaka, bagi diri sendiri, orang tua dan keluarga. Cita-citanya setinggi langit, sebentar-sebentar minta duit, tak mau hidup irit. Jika tersinggung langsung sengit. Enggan berusaha yang penting apa-apa harus tersedia. Jiwanya masih muda, mudah sekali tergoda api asmara. Lihat celana saja menjadi bergemuruh rasa di dada. Anak dewasa sering bikin orang tua ngelus dada. Bagaimanapun juga mereka buah dada hati yang dicinta. Itulah sebabnya orang tua tak punya rasa benci kepada pujaan hati. Hati-hati bimbing anak muda yang belum mampu membuka panca indera, salah-salah justru bisa celaka semuanya.

6. ASMARADANA

Asmaradana atau asmara dahana yakni api asmara yang membakar jiwa dan raga. Kehidupannya digerakkan oleh motifasi harapan dan asa asmara. Seolah dunia ini miliknya saja. Membayangkan dirinya bagaikan sang pujangga atau pangeran muda. Apa yang dicitakan haruslah terlaksana, tak pandang bulu apa akibatnya. Hidup menjadi terasa semakin hidup lantaran gema asmara membahana dari dalam dada. Biarlah asmara membakar semangat hidupnya, yang penting jangan sampai terlena. Jika tidak, akan menderita dikejar-kejar tanggungjawab hamil muda. Sebaliknya akan hidup mulia dan tergapai cita-citanya. Maka sudah menjadi tugas orang tua membimbing mengarahkan agar tidak salah memilih idola. Sebab sebentar lagi akan memasuki gerbang kehidupan baru yang mungkin akan banyak mengharu biru. Seyogyanya suka meniru tindak tanduk sang gurulaku, yang sabar membimbing setiap waktu dan tak pernah menggerutu. Jangan suka berpangku namun pandailah  memanfaatkan waktu. Agar cita-cita dapat dituju. Asmaradana adalah saat-saat yang menjadi penentu, apakah dirimu akan menjadi orang bermutu, atau polisi akan memburu dirimu. Salah-salah gagal menjadi menantu, malah akan menjadi seteru.

7. GAMBUH

Gambuh atau Gampang Nambuh, sikap angkuh serta acuh tak acuh, seolah sudah menjadi orang yang teguh, ampuh dan keluarganya tak akan runtuh. Belum pandai sudah berlagak pintar. Padahal otaknya buyar matanya nanar merasa cita-citanya sudah bersinar. Menjadikannya tak pandai melihat mana yang salah dan benar. Di mana-mana ingin diakui bak pejuang, walau hatinya tak lapang. Pahlawan bukanlah orang yang berani mati, sebaliknya berani hidup menjadi manusia sejati. Sulitnya mencari jati diri kemana-mana terus berlari tanpa henti.  Memperoleh sedikit sudah dirasakan banyak, membuat sikapnya mentang-mentang bagaikan sang pemenang. Sulit mawas diri, mengukur diri terlalu tinggi. Ilmu yang didapatkannya seolah menjadi senjata ampuh tiada tertandingi lagi. Padahal pemahamannya sebatas kata orang. Alias belum bisa menjalani dan menghayati. Bila merasa ada  yang kurang, menjadikannya sakit hati dan rendah diri. Jika tak tahan ia akan berlari menjauh mengasingkan diri. Menjadi pemuda pemudi yang jauh dari anugrah ilahi. Maka, belajarlah dengan teliti dan hati-hati. Jangan menjadi orang yang mudah gumunan dan kagetan. Bila sudah paham hayatilah dalam setiap perbuatan. Agar ditemukan dirimu yang sejati sebelum raga yang dibangga-banggakan itu menjadi mati.

8. DURMA

Munduring tata krama. Dalam cerita wayang purwa dikenal  banyak tokoh dari kalangan “hitam” yang jahat. Sebut saja misalnya Dursasana, Durmagati,Duryudana. Dalam terminologi Jawa dikenal berbagai istilah menggunakan suku kata dur/ dura (nglengkara) yang mewakili makna negatif (awon). Sebut saja misalnya : duraatmoko, duroko, dursila, dura sengkara, duracara (bicara buruk), durajaya, dursahasya, durmala, durniti, durta, durtama, udur, dst.  Tembang Durma, diciptakan untuk mengingatkan sekaligus  menggambarkan keadaan manusia yang cenderung berbuat buruk atau jahat. Manusia gemar udur atau cekcok, cari menang dan benernya sendiri, tak mau memahami perasaan orang lain. Sementara manusia cendrung mengikuti hawa nafsu yang dirasakan sendiri (nuruti rahsaning karep). Walaupun merugikan orang lain tidak peduli lagi. Nasehat bapa-ibu sudah tidak digubris dan dihiraukan lagi. Lupa diri selalu merasa iri hati. Manusia walaupun tidak mau disakiti, namun gemar menyakiti hati. Suka berdalih niatnya baik, namun tak peduli caranya yang kurang baik. Begitulah keadaan manusia di planet bumi, suka bertengkar, emosi, tak terkendali, mencelakai, dan menyakiti. Maka hati-hatilah, yang selalu eling dan waspadha.

9. PANGKUR

Bila usia telah uzur, datanglah penyesalan. Manusia menoleh kebelakang (mungkur) merenungkan apa yang dilakukan pada masa lalu. Manusia terlambat mengkoreksi diri, kadang kaget atas apa yang pernah ia lakukan, hingga kini yang ada  tinggalah menyesali diri. Kenapa dulu tidak begini tidak begitu. Merasa diri menjadi manusia renta yang hina dina sudah tak berguna.  Anak cucu kadang menggoda, masih meminta-minta sementara sudah tak punya lagi sesuatu yang berharga. Hidup merana yang dia punya tinggalah penyakit tua. Siang malam selalu berdoa saja, sedangkan raga tak mampu berbuat apa-apa.  Hidup enggan mati pun sungkan. Lantas bingung mau berbuat apa. Ke sana-ke mari ingin mengaji, tak tahu jati diri, memalukan seharusnya sudah menjadi guru ngaji. Tabungan menghilang sementara penyakit kian meradang. Lebih banyak waktu untuk telentang di atas ranjang. Jangankan teriak lantang, anunya pun sudah tak bisa tegang, yang ada hanyalah mengerang terasa nyawa hendak melayang. Sanak kadhang enggan datang, karena ingat ulahnya di masa lalu yang gemar mentang-mentang. Rasain loh bentar lagi menjadi bathang..!!

10. MEGATRUH

Megat ruh, artinya putusnya nyawa dari raga. Jika pegat tanpa aruh-aruh. Datanya ajal akan tiba sekonyong-konyong. Tanpa kompromi sehingga manusia banyak yang disesali.  Sudah terlambat untuk memperbaiki diri. Terlanjur tak paham jati diri. Selama ini menyembah tuhan penuh dengan pamrih dalam hati, karena takut neraka dan berharap-harap pahala surga. Kaget setengah mati saat mengerti kehidupan yang sejati. Betapa kebaikan di dunia menjadi penentu yang sangat berarti. Untuk menggapai kemuliaan yang sejati dalam kehidupan yang azali abadi. Duh Gusti, jadi begini, kenapa diri ini sewaktu masih muda hidup di dunia fana, sewaktu masih kuat dan bertenaga, namun tidak melakukan kebaikan kepada sesama. Menyesali diri ingat dulu kala telah menjadi durjana. Sembahyangnya rajin namun tak sadar sering mencelakai dan menyakiti hati sesama manusia. Kini telah tiba saatnya menebus segala dosa, sedih sekali ingat tak berbekal pahala. Harapan akan masuk surga, telah sirna tertutup bayangan neraka menganga di depan mata. Di saat ini manusia baru menjadi saksi mati, betapa penyakit hati menjadi penentu dalam meraih kemuliaan hidup yang sejati. Manusia tak sadar diri sering merasa benci, iri hati, dan dengki. Seolah menjadi yang paling benar, apapun tindakanya ia merasa paling pintar,  namun segala keburukannya dianggapnya demi membela diri.  Kini dalam kehidupan yang sejati, sungguh baru bisa dimengerti, penyakit hati sangat merugikan diri sendiri. Duh Gusti…!

11. POCUNG

Pocung atau pocong adalah orang yang telah mati lalu dibungkus kain kafan. Itulah batas antara kehidupan mercapadha yang panas dan rusak dengan kehidupan yang sejati dan abadi. Bagi orang yang baik kematian justru menyenangkan sebagai kelahirannya kembali, dan merasa kapok hidup di dunia yang penuh derita. Saat nyawa meregang, rasa bahagia bagai lenyapkan dahaga mereguk embun pagi. Bahagia sekali disambut dan dijemput para leluhurnya sendiri. Berkumpul lagi di alam yang abadi azali. Kehidupan baru setelah raganya mati.

Tak terasa bila diri telah mati. Yang dirasa semua orang kok tak mengenalinya lagi. Rasa sakit hilang badan menjadi ringan. Heran melihat raga sendiri dibungkus dengan kain kafan.  Sentuh sana sentuh sini tak ada yang mengerti. Di sana-di sini ketemu orang yang menangisi. Ada apa kok jadi begini, merasa heran kenapa sudah bahagia dan senang kok masih ditangisi. Ketemunya para kadhang yang telah lama nyawanya meregang. Dalam dimensi yang tenang, hawanya sejuk tak terbayang. Kemana mau pergi terasa dekat sekali. Tak ada lagi rasa lelah otot menegang. Belum juga sadar bahwa diri telah mati. Hingga beberapa hari barulah sadar..oh jasad ini telah mati. Yang abadi tinggalah roh yang suci.

Sementara yang durjana, meregang nyawa tiada yang peduli. Betapa sulit dan sakit meregang nyawanya sendiri, menjadi sekarat yang tak kunjung mati. Bingung kemana harus pergi, toleh kanan dan kiri  semua bikin gelisah hati.  Seram mengancam dan mencekam. Rasa sakit kian terasa meradang. Walau mengerang tak satupun yang bisa menolongnya. Siapapun yang hidup di dunia pasti mengalami dosa. Tuhan Maha Tahu dan Bijaksana tak pernah luput menimbang kebaikan dan keburukan walau sejumput. Manusia baru sadar, yang dituduh kapir belum tentu kapir bagi Tuhan, yang dianggap sesat belum tentu sesat menurut Tuhan.  Malah-malah yang suka menuduh  menjadi tertuduh. Yang suka menyalahkan justru bersalah. Yang suka mencaci dan menghina justru orang yang hina dina. Yang gemar menghakimi orang akan tersiksa. Yang suka mengadili akan diadili. Yang ada tinggalah rintihan lirih tak berarti, “Duh Gusti pripun kok kados niki…! Oleh sebab itu, hidup kudu jeli, nastiti, dan ngati-ati. Jangan suka menghakimi orang lain yang tak sepaham dengan diri sendiri. Bisa jadi yang salah malah pribadi kita sendiri. Lebih baik kita selalu mawas diri, agar kelak jika mati arwahmu tidak nyasar menjadi memedi.

12. WIRANGRONG

Hidup di dunia ini penuh dengan siksaan, derita, pahit dan getir, musibah dan bencana. Namun manusia bertugas untuk merubah semua itu menjadi anugrah dan bahagia. Manusia harus melepaskan derita diri pribadi, maupun derita orang lain. Manusia harus saling asah asih dan asuh kepada sesama. Hidup yang penuh cinta kasih sayang, bukan berarti mencintai dunia secara membabi-buta, namun artinya manusia harus peduli, memelihara dan merawat, tidak membuat kerusakan bagi sesama manusia lainnya, bagi makhluk hidup dan maupun jagad raya seisinya. Itulah nilai kebaikan yang bersifat universal. Sebagai wujud nyata hamemayu hayuning bawana, rahmatan lil alamin.

Jangan lah terlambat, akan mengadu pada siapa bila jasad sudah masuk ke liang lahat (ngerong). Wirangrong, Sak wirange mlebu ngerong, berikut segala perbuatan memalukan selama hidup ikut dikubur bersama jasad yang kaku. Keburukannya akan diingat masyarakat, aibnya dirasakan oleh anak, cucu, dan menantu. Jika kesadaran terlambat manusia akan menyesal namun tak bisa lagi bertobat. Tidak pandang bulu, yang kaya atau melarat, pandai maupun bodoh keparat,  yang jelata maupun berpangkat, tidak pandang derajat seluruh umat. Semua itu sekedar pakaian di dunia, tidak bisa menolong kemuliaan di akherat. Hidup di dunia sangatlah singkat, namun mengapa manusia banyak yang keparat. Ajalnya mengalami sekarat. Gagal total merawat barang titipan Yang Mahakuasa,  yakni  segenap jiwa dan raganya.

Jika manusia tak bermanfaat untuk kebaikan kepada sesama umat, dan kepada seluruh jagad, merekalah manusia bejat dan laknat. Pakaian itu hanya akan mencelakai manusia di dalam kehidupan yang sejati dan abadi. Orang kaya namun pelit dan suka menindas,  orang miskin namun kejam dan pemarah, orang pandai namun suka berbohong dan licik, orang bodoh namun suka mencelakai sesama, semua itu akan menyusahkan diri sendiri dalam kehidupan yang abadi. Datanglah penyesalan kini, semua yang benar dan salah tak tertutup nafsu duniawi. Yang ada tinggalah kebenaran yang sejati. Mana yang benar dan mana yang salah telah dilucuti, tak ada lagi secuil tabirpun yang bisa menutupi. Semua sudah menjadi rumus Ilahi.

Di alam penantian nanti, manusia tak berguna tetap hidup di alam yang sejati dan hakiki, namun ia akan merana, menderita, dan terlunta-lunta. Menebus segala dosa dan kesalahan sewaktu hidup di planet bumi. Lain halnya manusia yang  berguna untuk sesama di alam semesta, hidupnya di alam keabadian meraih kemuliaan yang sejati. Bahagia tak terperi, kemana-mana pergi dengan mudah sekehendak hati. Ibarat “lepas segala tujuannya” dan “luas kuburnya”. Tiada penghalang lagi, seringkali menengok anak cucu cicit yang masih hidup di dimensi bumi. Senang gembira rasa hati, hidup sepanjang masa di alam keabadian yang langgeng tan owah gingsir.

sumber : sekarlangit

Minggu, 09 Maret 2014

Kejawen (Wikipedia)

Kejawen (bahasa Jawa Kejawèn) adalah sebuah kepercayaan yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa. Kejawen hakikatnya adalah suatu filsafat dimana keberadaanya ada sejak orang Jawa (Bahasa Jawa: Wong Jawa, Krama: Tiyang Jawi) itu ada. Hal tersebut dapat dilihat dari ajarannya yang universal dan selalu melekat berdampingan dengan agama yang dianut pada zamannya. Kitab-kitab dan naskah kuno Kejawen tidak menegaskan ajarannya sebagai sebuah agama meskipun memiliki laku. Kejawen juga tidak dapat dilepaskan dari agama yang dianut karena filsafat Kejawen dilandaskankan pada ajaran agama yang dianut oleh filsuf Jawa.

Sejak dulu, orang Jawa mengakui keesaan Tuhan sehingga menjadi inti ajaran Kejawen, yaitu mengarahkan insan : Sangkan Paraning Dumadhi (lit. "Dari mana datang dan kembalinya hamba tuhan") dan membentuk insan se-iya se-kata dengan tuhannya : Manunggaling Kawula lan Gusthi (lit. "Bersatunya Hamba dan Tuhan"). 

Dari kemanunggalan itu, ajaran Kejawen memiliki misi sebagai berikut:

  1. Mamayu Hayuning Pribadhi (sebagai rahmat bagi diri pribadi)
  2. Mamayu Hayuning Kaluwarga (sebagai rahmat bagi keluarga)
  3. Mamayu Hayuning Sasama (sebagai rahmat bagi sesama manusia)
  4. Mamayu Hayuning Bhuwana (sebagai rahmat bagi alam semesta)

berbeda dengan kaum abangan kaum kejawen relatif taat dengan agamanya, dengan menjauhi larangan agamanya dan melaksanakan perintah agamanya namun tetap menjaga jatidirinya sebagai orang pribumi, karena ajaran filsafat kejawen memang mendorong untuk taat terhadap tuhannya. jadi tidak mengherankan jika ada banyak aliran filsafat kejawen menurut agamanya yang dianut seperti : Islam Kejawen, Hindu Kejawen, Kristen Kejawen, Budha Kejawen, Kejawen Kapitayan (Kepercayaan) dengan tetap melaksanakan adat dan budayanya yang tidak bertentangan dengan agamanya.

Etimologi

Seorang petapa Jawa sedang bersamadhi di bawah pohon beringin di era Hindia Belanda 1916.
Kata “Kejawen” berasal dari kata "Jawa", yang artinya dalam bahasa Indonesia adalah "segala sesuatu yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa (Kejawaan)". Penamaan "kejawen" bersifat umum, biasanya karena bahasa pengantar ibadahnya menggunakan bahasa Jawa. Dalam konteks umum, Kejawen sebagai filsafat yang memiliki ajaran-ajaran tertentu terutama dalam membangun Tata Krama (aturan berkehidupan yang mulia), Kejawen sebagai agama itu dikembangkan oleh pemeluk Agama Kapitayan jadi sangat tidak arif jika mengatasnamakan Kejawen sebagai agama dimana semua agama yang dianut oleh orang jawa memiliki sifat-sifat kejawaan yang kental.

Kejawen dalam opini umum berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi orang-orang Jawa. Kejawen juga memiliki arti spiritualistis atau spiritualistis suku Jawa, laku olah sepiritualis kejawen yang utama adalah Pasa (Berpuasa) dan Tapa (Bertapa).

Penganut ajaran kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan "ibadah"). Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat dan menekankan pada konsep "keseimbangan". Sifat Kejawen yang demikian memiliki kemiripan dengan Konfusianisme (bukan dalam konteks ajarannya). Penganut Kejawen hampir tidak pernah mengadakan kegiatan perluasan ajaran, tetapi melakukan pembinaan secara rutin.

Simbol-simbol "laku" berupa perangkat adat asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya. Simbol-simbol itu menampakan kewingitan (wibawa magis) sehingga banyak orang (termasuk penghayat kejawen sendiri) yang dengan mudah memanfaatkan kejawen dengan praktik klenik dan perdukunan yang padahal hal tersebut tidak pernah ada dalam ajaran filsafat kejawen.

Ajaran-ajaran kejawen bervariasi, dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik Hindu, Buddha, Islam, maupun Kristen. Gejala sinkretisme ini sendiri dipandang bukan sesuatu yang aneh karena dianggap memperkaya cara pandang terhadap tantangan perubahan zaman.

Hari-hari penting
Sultan Agung Mataram dianggap sebagai filsuf peletak pondasi Kejawen Muslim yang kemudian sangat mempengaruhi upacara-upacara penting terutama yang paling nampak adalah penanggalan dalam menentukan hari-hari penting. Hari-hari penting kejawen tidak lepas dari "Kelahiran - Pernikahan - Mangkat" (kematian), yang ketiganya adalah kehidupan dalam tradisi Jawa. Orang Jawa akan mendapatkan nama pada ketiga peristiwa tersebut, yaitu nama saat kelahiran, nama saat pernikahan, nama saat mangkat (nama kematian dengan menambahkan "bin"/ "binti" nama orang tua dibelakang nama kelahiran). Semua hari-hari penting itu ditetapkan sesuai Kalender Jawa yang memiliki Primbon sebagai aturan-aturan dalam menentukan hari penting dan tata caranya. Berikut adalah hari-hari penting dalam Kejawen :

  1. Suran (Tahun Baru 1 Sura).
  2. Sepasaran (upacara kelahiran) dan Aqiqah bagi muslim.
  3. Mantennan (Pernikahan dengan segala upacaranya).
  4. Mangkat (Upacara Kematian) - Mengirim Do'a (Kanduri, Wirid, Ngaji) 7 Hari, 40 Hari, 100 Hari, 1000 Hari, 3000 Hari.
  5. Megeng Pasa - Tanggal 28 dan 29 Bulan Ruwah (Bulan Arwah) Yang digunakan untuk mengirim Do'a kepada yang telah mangkat (berangkat) terlebih dahulu, juga waktu Munjung (mengirim makanan lengkap nasi dan lauk kepada orang yang dituakan dalam keluarga) untuk mengikat silaturahmi.
  6. Megeng Sawal - Tanggal 29 dan 30 Bulan Pasa Yang digunakan untuk mengirim Do'a kepada yang telah mangkat (berangkat) terlebih dahulu, juga waktu Munjung (mengirim makanan lengkap nasi dan lauk kepada orang yang dituakan dalam keluarga) untuk mengikat silaturahmi bagi yang tidak ada kesempatan pada Megeng Pasa.
  7. Riadi Kupat (Hari Raya Kupat) - Tanggal 3, 4 dan 5 Bulan Sawal (Bagi orang tua yang ditinggalkan anaknya sebelum menikah).

Karena filsafat kejawen juga beragama, hari besar agama juga merupakan hari penting kejawen. Berikut ini adalah beberapa hari penting tambahan untuk kejawen muslim :

  1. Hari Raya Idul Fitri
  2. Hari Raya Idul Adha.
  3. Hari Raya Jum'at.
  4. Muludan (Maulid Kanjeng Nabi Muhammad, S.A.W.)
  5. Sekaten (Syahadatain)

Para penganut kejawen sangat menyukai berpuasa dalam ajaran islam karena dianggap sama dengan ajaran leluhurnya selain juga tafakur yang dianggap sama dengan bertapa.

  1. Pasa Weton - berpuasa pada hari kelahiranya sesuai penanggalan jawa.
  2. Pasa Sekeman - Puasa pada hari senin dan kamis.
  3. Pasa Wulan - Puasa pada setiap tanggal 13, 14, dan 15 pada setiap bulan Kalender Jawa.
  4. Pasa Dawud - Puasa selang-seling, sehari puasa-sehari tidak.
  5. Pasa Ruwah - Puasa pada hari-hari bulan Ruwah (Bulan Arwah).
  6. Pasa Sawal - Puasa enam hari pada bulan Sawal kecuali tanggal 1 Sawal.
  7. Pasa Apit Kayu - Puasa 10 hari pertama pada bulan ke-12 kalender jawa.
  8. Pasa Sura - Puasa pada tanggal 9 dan 10 bulan Sura.

Selain puasa diatas kejawen juga memiliki puasa biasanya untuk menggambarkan kezuhudan (kesungguhan) dalam mencapai keinginan, jenis puasa tersebut adalah sebagai berikut :

  1. Pasa Mutih - puasa ini dilakukan dengan jalan hanya boleh makan nasi putih, tanpa garam dan lauk pauk atau makanan kecil dan lain-lain, serta minumnya juga air putih.
  2. Pasa Patigeni - puasa tidak boleh makan, minum dan tidur serta hanya boleh dikamar saja tanpa disinari cahaya lampu.
  3. Pasa Ngebleng - puasa tidak boleh makan dan minum, tidak boleh keluar kamar, boleh keluar sekedar tetapi sekedar buang hajat dan boleh tidur tetapi sebentar saja.
  4. Pasa Ngalong - puasa tidak makan dan minum tetapi boleh tidur sebentar saja dan boleh pergi.
  5. Pasa Ngrowot - puasa yang tidak boleh makan nasi dan hanya boleh makan buah-buahan atau sayur-sayuran saja.


Kitab dan teks utama
Kejawen tidak memiliki Kitab Suci, tetapi orang Jawa memiliki bahasa sandi yang dilambangkan dan disiratkan dalam semua sendi kehidupannya dan mempercayai ajaran-ajaran Kejawen tertuang di dalamnya tanpa mengalami perubahan sedikitpun karena memiliki pakem (aturan yang dijaga ketat), kesemuanya merupakan ajaran yang tersirat untuk membentuk laku utama yaitu Tata Krama (Aturan Hidup Yang Luhur) untuk membentuk orang jawa yang hanjawani (memiliki akhlak terpuji), hal-hal tersebut terutama banyak tertuang dalam karya tulis sebagai berikut :

  • Kakawin (Sastra Kuna) - merupakan kitab sastra metrum kuna (lama) berisi wejangan (nasihat) berupa ajaran yang tersirat dalam kisah perjalanan yang berjumlah 5 kitab, ditulis menggunakan Aksara Jawa Kuno dan Bahasa Jawa Kuno
  • Babad (Sejarah-Sejarah) - merupakan kitab yang menceritakan sejarah nusantara berjumlah lebih dari 15 kitab, ditulis menggunakan Aksara Jawa Kuno dan Bahasa Jawa Kuno serta Aksara Jawa dan Bahasa Jawa
  • Serat (Sastra Baru) - merupakan kitab sastra metrum anyar (baru) berisi wejangan (nasihat) berupa ajaran yang tersirat dalam kisah perjalanan yang terdiri lebih dari 82 kitab, ditulis menggunakan Aksara Jawa dan Bahasa Jawa beberapa ditulis menggunakan Huruf Pegon
  • Suluk (Jalan Sepiritual) - merupakan kitab tata cara menempuh jalan supranatural untuk membentuk pribadi hanjawani yang luhur dan dipercaya siapa saja yang mengalami kesempurnaan akan memperoleh kekuatan supranatural yang berjumlah lebih dari 35 kitab, ditulis menggunakan Aksara Jawa dan Bahasa Jawa beberapa ditulis menggunakan Huruf Pegon
  • Kidungan (Do'a-Do'a) - sekumpulan do'a-do'a atau mantra-mantra yang dibaca dengan nada khas, sama seperti halnya do'a lain ditujukan kepada tuhan bagi pemeluknya masing-masing yang berjumlah 7 kitab, ditulis menggunakan Aksara Jawa dan Bahasa Jawa
  • Primbon (Ramalan-Ramalan) - berupa kitab untuk membaca gelagat alam semesta untuk memprediksi kejadian. ditulis menggunakan Aksara Jawa dan Bahasa Jawa
  • Piwulang Kautaman (Ajaran Utama) - berupa kitab yang terdiri dari Pituduh (Perintah) dan Wewaler (Larangan) untuk membentuk pribadi yang hanjawani, ditulis menggunakan Aksara Jawa dan Bahasa Jawa

Naskah-naskah diatas mencakup seluruh sendi kehidupan orang Jawa dari kelahiran sampai kematian, dari resep makanan kuno sampai asmaragama (kamasutra), dan ada ribuan naskah lainya yang menyiratkan kitab-kitab utama di atas dalam bentuk karya tulis, biasanya dalam bentuk ajaran nasihat, falsafah, kaweruh (pengetahuan), dan sebagainya.

Kejawen (Suara Merdeka)

Kejawen, pembentukan katanya berasal dari kata Jawi (artinya adalah Jawa, tetapi dalam tingkat bahasa yang halus/ tinggi) diimbuhi ke-an, menjadi kejawian (seperti pembentukan kata “kasepuhan“). Kata kejawian ini, dengan keluwesan “lidah orang Jawa”, meluruh menjadi kejawen .

Kejawian atau kejawen memiliki arti yaitu segala sesuatu yang berhubungan dengan Jawi atau Jawa (dalam hal ini orang Jawa), dalam segala sendi kehidupan.
Kejawen = Kultur Jawa
Kejawen memiliki kedekatan arti dengan kultur Jawa, yang berarti juga melingkupi bagaimana seorang Jawa itu bertingkah polah menjalani hidup.
Karena berupa kultur, kejawen juga melingkupi pola pikir serta sikap dan pola kehidupan. Sehingga orang Jawa yang memiliki pola pikir serta sikap dan pola kehidupan yang tidak sesuai dengan kultur Jawa akan dianggap sebagai orang yang tidak Jawa (tidak “njawani“).

Pola-pola seperti andhap asor (santun), tepa slira (tenggang rasa), menghormati orang lain, guyub dan suka menolong, bersahaja, hidup dalam harmoni, serta mendekat dengan alam termasuk di dalamnya. Orang Jawa yang egois, kasar/ arogan, dan lupa dengan asal usulnya akan dianggap sebagai orang yang tidak “njawani“.

Pembentukan diri agar memiliki pola pikir serta sikap kehidupan sebagai orang Jawa, dilalui dengan berbagai pola kehidupan tertentu, misalkan lelaku prihatin (untuk menempa diri agar kuat dan peka) dalam kehidupan sehari-hari.

Kejawen, Ritual, Klenik, dan Penyelewengan-penyelewengan itu
Namun, pola hidup ini tidak identik dengan ritual. Orang yang ingin hidup bersahaja hanya perlu menerapkan kebersahajaan dalam kehidupan sehari-hari, dan tidak perlu dilalui dengan ritual tertentu yang berpeluang menjadi topeng kepalsuan. Ritual berbagi rejeki untuk saling membantu, hanya akan menjadi kepalsuan bila dalam kesehariannya dikenal sebagai orang yang pelit dan kikir.

Justru ritual-ritual yang palsu seperti ini pada dasarnya bukan asli Jawa, melainkan bawaan dari budaya asing melalui asimilasi budaya Hindu, Budha, dan Islam. Bahkan budaya Kristen pun ikut-ikutan berasimilasikan dan mengaku sebagai budaya Jawa, dan dapat dilihat di berbagai wilayah di sekitar Magelang atau Kediri.

Ritual-ritual hasil asimilasi ini yang seringkali tidak dipahami “filsafat dan ilmu”-nya oleh orang Jawa, sehingga terjadilah ritual-ritual tanpa ilmu yang akhirnya menjadi klenik.

Tanpa landasan pemahaman ilmu dan filsafat yang melatarbelakanginya, pehamanan akan bergeser. Jika ingin menempa diri agar kuat dan peka, maka pemahaman atas “kuat” ini menjadi bermacam-macam. Lelaku prihatin yang awalnya agar menjadi kuat dalam menjalani hidup (kuat mental, kuat jiwa, kuat spiritual, kuat keyakinan, kuat dalam niat dan kemauan, sembada, kuat dalam pengendalian diri, dan seterusnya), termasuk kuat dalam arti fisik (kekuatan olah ragawi dan kekuatan hasil olah kanuragan), kemudian bergeser hanya satu sisi saja, misalkan hanya dipahami kuat dalam arti olah kanuragan. Akhirnya, proses lelaku yang dijalani pun menjadi berbeda niatnya, dan lahirlah klenik.

Ketika hidup bersama alam, ditemukan adanya keseimbangan dan kehamonisan, dan ini yang kemudian menjadi landasan dalam tatanan kehidupan, hidup yang harmonis. Dalam usaha untuk memahami kehidupan, masyarakat Jawa menemukan bahwa kehidupan itu tidak lepas dari hidup bermasyarakat. Sehingga, penghormatan atas hadirnya individu lain, kesantunan, dan hidup saling membutuhkan adalah syarat untuk harmoni dalam masyarakat. Sikap hidup yang sesungguhnya menggambarkan adanya sikap egaliter dalam kehidupan masyarakat Jawa.

Namun, ada beberapa hal yang kemudian dipahami secara salah. Hamonis kemudian dipahami secara salah menjadi antikonflik. Menghormati orang lain dipahami secara salah menjadi rendah diri yang berlebihan dan penjilatan kepada yang lebih berkuasa atau berharta.

Peka berarti harus memahami segala sesuatu yang tidak biasa, agar kemudian bisa mawas diri. Ketika ada suatu kesalahan yang dilakukan, dan orang-orang di sekitarnya justru diam, harus bisa dipahami bahwa sikap diam itu adalah cara agar pelaku kesalahan menjadi peka atas apa yang telah dilakukannya. Mendiamkan ini adalah upaya untuk memperkecil konflik. Jika tidak peka, maka hal itu dianggap sebagai hal yang menyakitkan bagi orang lain. Semacam “kebangetan banget, sih. Kok tidak sadar juga”. Untuk mereduksi konflik, sering kali orang Jawa bersikap: “ngalah, ngalih, ngamuk”. Pertama kali adalah mengalah, mendiamkan agar tidak terjadi konflik yang tidak perlu. Jika masih belum sadar, maka “ngalih”, menghindari, agar emosi tidak merusak suasana. Kemudian, jika masih belum sadar, langkah tegas diperlukan untuk itu, walau tidak harus berari “mengamuk”.

Pemahaman yang salah terhadap hal ini juga sering terjadi, dan dikenalah orang Jawa secara salah sebagai orang yang pendiam, tetapi pendendam. Namun, tidak bisa dipungkiri, bahwa dibalik sikap yang rendah hati dan menghormati, tersimpan pula sifat kasar dan ganas. (Mungkin pada dasarnya orang Jawa memang kasar dan ganas, dan oleh sebab itu ada kejawen untuk meredam dan mengarahkan)

Dalam mawas diri dan pembentukan kepekaan diri, dikenal ada istilah “guru sejati”. Guru adalah yang dianggap mampu mendidik dan mengarahkan, dan guru yang harus bisa mendidik dan mengarahkan adalah diri pribadi. Guru sejati menjadi semacam “alter ego” yang mengawasi dan melakukan pengarahan terhadap “alter ego” yang lain. Dalam klenik, guru sejati hanya dipahami sebagai pembentukan “sosok lain”, yang kemudian bersinggungan dengan “raga sukma”, maupun kemunculan “kembaran” di tempat lain pada saat bersamaan.

Kepekaan diasah dengan usaha untuk bisa ikut merasakan sebagaimana yang dirasakan oleh yang lain. Kebersahajaan (meninggalkan kemewahan) dan lelaku prihatin (merasakan lapar dan kesusahan hidup), merupaan upaya untuk itu. Namun, kemudian muncul ritual-ritual, seperti bertapa dan berbagai jenis puasa (ngebleng, pati geni, mutih, ngrowot, dan seterusnya), yang jelas-jelas merupakan asimilasi dari budaya asing. Karena sebenarnya lelaku itu adalah keseharian, bukan ritual. Ritual yang dilakukan secara rajin, tetapi dalam keseharian masih bergelimang kemewahan dan tidak peduli akan kesusahan hidup yang dialami yang lain, hanyalah berupa topeng kepalsuan, dan tidak akan mengupayakan kepekaan.

Kepekaan diasah pula dengan mendekatkan diri dengan alam, agar bisa menangkap tanda-tanda yang diberikan oleh alam. Salah satu hasil mengasah kepekaan ini adalah “ilmu titen“, yang “niteni“, meneliti, mencermati berbagai tanda-tanda. Ilmu titen ini akan menjadi klenik, jika hanya didasarkan atas hitung-hitungan saja, sedangkan tanda-tanda alam tidak lagi dicermati.

Hal yang praktis dalam “titen” ini adalah, orang Jawa biasanya memetakan posisi dalam arah mata angin. Sehingga wajar jika menjelaskan posisi dalam arah mata angin (“lor“/ utara, “kidul“/ selatan, “wetan“/ timur, dan “kulon“/ barat) dan bukan dalam arah kiri atau kanan. Misalkan untuk lokasi rumah, maka bisa dijelaskan menjadi: dari perempatan terminal, ke utara, kemudian ada belokan, ke barat sedikit terus ke utara lagi. Sayangnya, seringkali jika tidak paham arah mata angin, maka akan merasa bingung dan disorientasi lokasi.

“Titen” yang lain, adalah memahami waktu tanpa bantuan jam. Jika pada siang hari hal ini dapat dilakukan dengan bantuan matahari, maka di saat malam hari pemahaman waktu dilakukan dengan mencermati kondisi alam dan isinya, misalkan perilaku binatang, perilaku orang-orang, perubahan suhu, angin, atau cuaca. Akan sangat kelihatan ketika berada di wilayah yang jauh dari keramaian. Jam 8 malam biasanya bayi/ anak kecil sudah tidur, jam 10 malam angin mulai reda (bila ada obor penerangan, api dan asap mulai lurus ke atas), jam 2 pagi suhu udara mulai turun secara signifikan, dan seterusnya.

Untuk urusan bercocok tanam, karena sangat ditentukan oleh musim, perubahan-perubahan kondisi alam menjadi hal yang dicermati, misalkan untuk memperkirakan kedatangan musim hujan, musim angin digunakan sebagai tanda, dan jika musim angin sudah mulai reda, maka musim hujan akan segera tiba. Musim kemarau biasanya ditandai dengan perilaku hewan “gareng pung“, sebagaimana orang Jepang menandai musim semi berdasar perilaku cenggeret, hewan yang sejenis. Pendanaan-penandaan musim ini kemudian diwujudkan dalam sisem kalendar, dan Jawa adalah salah satu dari sedikit suku bangsa di dunia yang memiliki sistem kalendar sendiri (walau pada perkembangannya mengalami asimilasi dengan budaya lain), selain bahasa dan tulisan tersendiri. Namun, jika hanya menyandarkan diri pada perhitungan-perhitungan, dan tidak lagi mencermati tanda-tanda alam, maka terlahirlah lagi klenik, ritual-ritual yang meninggalkan filosofi dan ilmu yang melandasinya.

Mendekatkan diri dengan alam adalah upaya untuk mengasah kepekaan juga, agar mampu hidup harmonis dengan alam dan untuk keperluan-keperluan praktis, misalkan untuk orientasi lokasi, orientasi waktu, dan keperluan pertanian.

Kejawen dan Perkembangan Jaman: Asimilasi, Egoisme, atau Politik?
Dalam banyak sisi, kejawen selalu berkembang & menyesuaikan diri, mulai dari era prapengaruh budaya asing, era kedatangan suku bangsa asing yang membawa berbagai budaya dan teknologi (budaya Hindu & Budha, Cina, Timur Tengah dan Asia Kecil, Islam, serta bangsa barat dan Kristen), hingga pengaruh budaya global saat ini. Pun, kultur tidak hanya sebatas pola pikir dan tingkah laku, melainkan juga produk dari kultur itu sendiri, misalkan bahasa, tulisan, sastera, dan ilmu-ilmu lainnya. Konon, orang Jawa tidak akan mengenal berbagai peralatan dan teknologi bertani (bahkan bajak), jika tidak ada pengaruh dari Cina.

Nah, jika sedari dahulu kejawen terasimilasi, tetapi tetap berciri khas Jawa, budaya Hindu tapi Jawa, Budha tapi Jawa, orang Cina tapi Jawa, Islam tapi Jawa, Kristen tapi Jawa. (Catatan mengenai Islam tapi Jawa dan bukan Arab, bisa dilihat di sini). Sehingga, bukan tidak mungkin pada era ini kejawen akan bisa bertahan seperti sebelumnya: modern tapi Jawa.

Walau perkembangannya, tidak hanya budaya asing yang berpengaruh, melainkan juga kepentingan-kepentingan politik, mulai dari raja-raja Jawa (yang negatif: ekseklusivitas, rasis, nonegaliter; yang positif: lahirnya ilmu-ilmu baru kejawen di berbagai bidang), penjajah (yang suka memutar balik fakta sejarah, karena takut budaya lokal jika nantinya maju), hingga yang sangat sangat khas dari seorang Suharto (sebagaimana penjajah, dan suka senyum, yang dapat diartikan sebagaimana diamnya orang Jawa: kayak gitu kok ndak nyadar-nyadar, to). Mungkin, dari seorang Suharto dunia mengenal kejawen , tetapi juga melalui seorang Suharto dunia tidak mengenal apa sesungguhnya kejawen .

Kejawen adalah cara untuk berpola pikir, bersikap, dan berpola hidup sebagaimana seharusnya orang Jawa, dan tidak sama dengan klenik. Memahami kejawen tanpa memahami kehidupan manusia dan dan memahami alam akan menjadi klenik.

Rabu, 19 Februari 2014

Guru Sejati

HAKEKAT GURU SEJATI
Kembali pada pembahasan Guru Sejati. Melalui 3 langkahnya (Triwikrama) Dewa Wishnu (Yang Hidup), mengarungi empat macam zaman (kertayuga, tirtayuga, kaliyuga, dwaparayuga), lalu lahirlah manusia dengan konstruksi terdiri dari fisik dan metafisik di dunia (zaman mercapada). Fisik berupa jasad atau raga, sedangkan metafisiknya adalah roh beserta unsur-unsur yang lebih rumit lagi. Ilmu Jawa melihat bahwa roh manusia  memiliki pamomong (pembimbing) yang disebut pancer atau guru sejati. Pamomong atau Guru Sejati berdiri sendiri menjadi pendamping dan pembimbing roh atau sukma. Roh atau sukma di siram “air suci” oleh guru sejati, sehingga sukma menjadi sukma sejati. Di sini tampak Guru sejati memiliki fungsi sebagai resources atau sumber “pelita”  kehidupan. Guru Sejati layak dipercaya sebagai “guru” karena ia bersifat teguh dan  memiliki hakekat “sifat-sifat” Tuhan (frekuensi kebaikan) yang abadi konsisten  tidak berubah-ubah (kang langgeng tan owah gingsir). Guru Sejati adalah proyeksi dari rahsa/rasa/sirr yang merupakan rahsa/sirr yang sumbernya adalah kehendak Tuhan; terminologi Jawa menyebutnya sebagai Rasa Sejati. Dengan kata lain rasa sejati sebagai proyeksi atas “rahsaning” Tuhan (sirrullah). Sehingga tak diragukan lagi bila peranan Guru Sejati akan “mewarnai” energi hidup atau roh menjadi energi suci (roh suci/ruhul kuddus). Roh kudus/roh al quds/sukma sejati, telah mendapat “petunjuk” Tuhan –dalam konteks ini hakikat rasa sejati– maka peranan roh tersebut tidak lain sebagai “utusan Tuhan”. Jiwa, hawa atau nafs yang telah diperkuat dengan sukma sejati atau dalam terminologi Arab disebut ruh al quds. Disebut juga sebagai an-nafs an-natiqah, dalam terminologi Arab juga disebut sebagai an-nafs al-muthmainah, adalah sebagai “penasihat spiritual” bagi jiwa/nafs/hawa. Jiwa perlu di dampingi oleh Guru Sejati karena ia dapat dikalahkan oleh nafsu yang berasal dari jasad/raga/organ tubuh  manusia. Jiwa yang ditundukkan oleh nafsu hanya akan merubah karakternya menjadi jahat.
Menurut  ngelmu Kejawen, ilmu seseorang dikatakan sudah mencapai puncaknya apabila sudah bisa menemui wujud Guru Sejati. Guru Sejati benar-benar bisa mewujud dalam bentuk “halus”,  wujudnya mirip dengan diri kita sendiri. Mungkin sebagian pembaca yang budiman ada yang secara sengaja atau tidak pernah menyaksikan,   berdialog, atau sekedar melihat diri sendiri tampak menjelma menjadi dua, seperti melihat cermin. Itulah Guru Sejati anda. Atau bagi yang dapat meraga sukma, maka akan melihat kembarannya yang mirip sukma atau badan halusnya sendiri. Wujud kembaran (berbeda dengan konsep sedulur kembar) itu lah entitas Guru Sejati. Karena Guru Sejati memiliki sifat hakekat Tuhan, maka segala nasehatnya akan tepat dan benar adanya. Tidak akan menyesatkan. Oleh sebab itu bagi yang dapat bertemu Guru Sejati, saran dan nasehatnya layak diikuti. Bagi yang belum bisa bertemu Guru Sejati, anda jangan pesimis, sebab Guru Sejati akan selalu mengirim pesan-pesan berupa sinyal dan getaran melalui Hati Nurani anda. Maka anda dapat mencermati suara hati nurani anda sendiri untuk memperoleh petunjuk penting bagi permasalahan yang anda hadapi.
Namun permasalahannya, jika kita kurang mengasah ketajaman batin, sulit untuk membedakan apakah yang kita rasakan merupakan kehendak hati nurani (kareping rahsa) ataukah kemauan hati atau hawa nafsu (rahsaning karep). Artinya, Guru Sejati menggerakkan suara hati nurani yang diidentifikasi pula sebagai kareping rahsa atau kehendak rasa (petunjuk Tuhan) sedangkan hawa nafsu tidak lain merupakan rahsaning karep atau rasanya keinginan.
Sarat utama kita bertemu dengan Guru Sejati kita adalah dengan laku prihatin; yakni selalu mengolah rahsa, mesu budi, maladihening, mengolah batin dengan cara membersihkan hati dari hawa nafsu, dan  menjaga kesucian jiwa dan raga. Sebab orang yang dapat bertemu langsung dengan Guru Sejati nya sendiri, hanyalah orang-orang yang terpilih dan pinilih.

SEDULUR; PAPAT KEBLAT, LIMA PANCER
Atau Keblat Papat,Lima Pancer, di lain sisi diartikan juga sebagai kesadaran mikrokosmos. Dalam diri manusia (inner world) sedulur papat sebagai perlambang empat unsur badan manusia yang mengiringi seseorang sejak dilahirkan di muka bumi.  Sebelum bayi lahir akan didahului oleh keluarnya air ketuban atau air kawah. Setelah bayi keluar dari rahim ibu, akan segera disusul oleh plasenta atau ari-ari. Sewaktu bayi lahir juga disertai keluarnya darah dan  daging. Maka sedulur papat terdiri dari unsur kawah sebagai kakak, ari-ari sebagai adik, dan darah-daging sebagai dulur kembarnya. Jika ke-empat unsur disatukan maka jadilah jasad, yang kemudian dihidupkan oleh roh sebagai unsur kelima yakni pancer. Konsepsi tersebut kemudian dihubungkan dengan hakekat doa; dalam pandangan Jawa doa merupakan niat atau kebulatan tekad yang harus melibatkan unsur semua unsur raga dan jiwa secara kompak. Maka untuk mengawali suatu pekerjaan disebut dibutuhkan sikap amateg aji (niat ingsun) atau artikulasi kemantaban niat dalam mengawali segala sesuatu kegiatan/rencana/usaha).  Itulah alasan mengapa dalam tradisi Jawa untuk mengawali suatu pekerjaan berat  maupun ringan diawali dengan mengucap; kakang kawah adi ari-ari, kadhangku kang lahir nunggal sedino lan kadhangku kang lahir nunggal sewengi, sedulurku papat kiblat, kelimo pancer…ewang-ewangono aku..saperlu ono gawe ….

MENGOLAH GURU SEJATI
Guru Sejati yakni rahsa sejati; meretas ke dalam sukma sejati, atau sukma suci, kira-kira sepadan dengan makna roh kudus (ruhul kudus/ruh al quds). Kita mendayagunakan Guru Sejati kita dengan cara mengarahkan kekuatan metafisik sedulur papat (dalam lingkup mikrokosmos)  untuk selalu waspada dan jangan sampai tunduk oleh hawa nafsu. Bersamaan menyatukan kekuatan mikrokosmos dengan kekuatan makrokosmos yakni papat keblat alam semesta yang berupa energi alam dari empat arah mata angin, lantas melebur ke dalam kekuatan pancer yang bersifat transenden (Tuhan Yang Mahakuasa). Setiap orang bisa bertemu Guru Sejatinya, dengan syarat kita dapat menguasai hawa nafsu negatif; nafsu lauwamah (nafsu serakah; makan, minum, kebutuhan ragawi), amarah (nafsu angkara murka), supiyah (mengejar kenikmatan duniawi) dan mengapai nafsu positif dalam sukma sejati (al mutmainah). Sehingga jasad dan nafs/hawa nafsu lah yang harus mengikuti kehendak sukma sejati untuk menyamakan frekuensinya dengan gelombang Yang Maha Suci. Sukma menjadi suci tatkala sukma kita sesuai dengan karakter dan sifat hakekat gelombang Dzat Yang Maha Suci, yang telah meretas ke dalam sifat hakekat Guru Sejati. Yakni sifat-sifat Sang Khaliq yang (minimal) meliputi 20 sifat. Peleburan ini dalam terminologi Jawa disebut manunggaling kawula-Gusti.

Tradisi Jawa mengajarkan tatacara membangun sukma sejati dengan cara ‘manunggaling kawula Gusti’ atau penyatuan/penyamaan sifat hakikat makhluk dengan Sang Pencipta (wahdatul wujud). Sebagaimana makna warangka manjing curiga; manusia masuk kedalam diri “Tuhan”, ibarat Arya Sena masuk kedalam tubuh Dewaruci. Atau sebaliknya, Tuhan menitis ke dalam diri manusia; curigo manjing warongko, laksana Dewa Wishnu menitis ke dalam diri Prabu Kreshna.
Sebagai upaya manunggaling kawula gusti, segenap upaya awal dapat dilakukan seperti melalui ritual mesu budi, maladihening, tarak brata, tapa brata, puja brata, bangun di dalam tidur, sembahyang di dalam bekerja. Tujuannya agar supaya mencapai tataran hakekat yakni dengan meninggalkan nafsul lauwamah, amarah, supiyah, dan menggapai nafsul mutmainah. Kejawen mengajarkan bahwa sepanjang hidup manusia hendaknya laksana berada dalam “bulan suci Ramadhan”. Artinya, semangat dan kegigihan melakukan kebaikan, membelenggu setan (hawa nafsu) hendaknya dilakukan sepanjang hidupnya, jangan hanya sebulan dalam setahun. Selesai puasa lantas lepas kendali lagi. Pencapaian hidup manusia pada tataran tarekat dan hakikat secara intensif akan mendapat hadiah berupa kesucian ilmu makrifat. Suatu saat nanti, jika Tuhan telah menetapkan kehendakNya, manusia dapat ‘menyelam’ ke dalam tataran tertinggi yakni makna kodratullah. Yakni substansi dari manunggaling kawula gusti sebagai ajaran paling mendasar dalam ilmu Kejawen khususnya dalam anasir ajaran Syeh Siti Jenar. Manunggling Kawula Gusti = bersatunya Dzat Pencipta ke dalam diri mahluk. Pancaran Dzat telah bersemayan menerangi ke dalam Guru Sejati, sukma sejati.

TANDA PENCAPAIAN SPIRITUALITAS TINGGI
Keberhasilan mengolah Guru Sejati, tatarannya akan dapat dicapai apabila kita sudah benar-benar ‘lepas’ dari basyor atau raga/tubuh. Yakni jiwa yang telah merdeka dari penjajahan jasad. Bukan berarti kita harus meninggalkan segala kegiatan dan aktivitas kehidupan duniawi, itu salah besar !! Sebaliknya, kehidupan duniawi menjadi modal atau bekal utama meraih kemuliaan baik di dunia maupun kelak setelah ajal tiba. Maka seluruh kegiatan dan aktivitas kehidupan duniawi sudah tidak dicemari oleh hawa nafsu. Kebaikan yang dilakukan tidak didasari “pamrih”; sekalipun dengan mengharap-harap iming-iming pahala-surga, atau takut ancaman dosa-neraka. Melainkan kesadaran makrokosmos dan mikrokosmos akan kodrat manusia sebagai makhluk Tuhan, hendaklah memposisikan diri bukan sebagai seteruNya, tetapi sebagai “sekutuNya”, sepadan dan merasuk ke dalam gelombang Ilahiah. Kesadaran spiritual bahwa kemuliaan hidup kita apabila kita dapat bermanfaat untuk kebaikan bagi sesama tanpa membeda-bedakan masalah sara. Orang yang memiliki kesadaran demikian, hakekat kehendaknya merupakan kehendak Tuhan. Apa yang dikatakan menjadi terwujud, setiap doa akan terkabul. Ucapannya diumpamakan “idu geni” (ludah api) yang diucapkan pasti terwujud. Kalimatnya menjadi “Sabda Pendita Ratu”, selalu menjadi kenyataan.
Selain itu, tataran tinggi pencapaian “ilmu batin/spiritual” dapat ditandai apabila kita dapat menjumpai wujud “diri” kita sendiri, yang tidak lain adalah Guru Sejati kita. Lebih dari itu, kita dapat berdialog dengan Guru Sejati untuk mendengarkan nasehat-nasehatnya, petuah dan petunjuknya. Guru sejati berperan sebagai “mursyid” yang tidak akan pernah  bicara omong kosong dan sesat, sebab Guru Sejati sejatinya adalah pancaran dari gelombang Yang Maha Suci. Di sana lah, kita sudah dekat dengan relung ’sastra jendra hayuning rat’ yakni ilmu linuwih, “ibu” dari dari segala macam ilmu,  karena mata (batin) kita akan melihat apa-apa yang menjadi rahasia alam semesta,  sekalipun tertutup oleh pandangan visual manusia maupun teknologi.
Tanda-tanda pencapaian itu antara lain, kadang seseorang diizinkan Tuhan untuk mengetahui apa yang akan terjadi di masa mendatang, melalui vision, mimpi, maupun getaran hati nurani. Semua itu dapat merupakan petunjuk Tuhan. Maka tidak aneh apabila di masa silam nenek moyang kita, para leluhur bumi nusantara yang memperoleh kawaskitan, kemudian menuangkannya dalam berbagai karya sastra kuno berupa; suluk, serat, dan jangka atau ramalan (prediksi). Jangka atau prediksi diterima oleh budaya Jawa sebagai anugerah besar dari Tuhan, terkadang dianggap sebagai peringatan Tuhan, agar supaya manusia dapat mengkoreksi diri, hati-hati, selalu eling-waspadha dan melakukan langkah antisipasi.

PENTINGKAH GURU SEJATI ?
Peran Guru Sejati sudah jelas saya paparkan di awal pembahasan ini. Namun demikian perlu kami kemukakan betapa pentingnya Guru Sejati dalam kehidupan kita yang penuh ranjau ini. Perahu kehidupan kita berlabuh dalam samudra kehidupan yang penuh dengan marabahaya. Kita harus selalu eling dan waspadha, sebab setiap saat kemungkinan terburuk dapat menimpa siapa saja yang lengah. Guru Sejati akan selalu memberi peringatan kepada kita akan marabahaya yang mengancam diri kita. Guru Sejati akan mengarahkan kita agar terhindar dari malapetaka, dan bagaimana jalan keluar harus ditempuh. Karena Guru Sejati merupakan entitas zat atau energi kebaikan dari pancaran cahaya Illahi, maka Guru Sejati memiliki kewaskitaan luarbiasa. Guru Sejati sangat cermat mengidentifikasi masalah, dan memiliki ketepatan tinggi dalam mengambil keputusan dan jalan keluar. Biasanya Guru Sejati “bekerja” secara preventif antisipatif, membimbing kita agar supaya tidak melangkah menuju kepada hal-hal yang akan berujung pada kesengsaraan, malapetaka, atau musibah.

ANASIR ASING
Konsep tentang guru sejati sebagaimana ajaran Jawa, dapat ditelusuri melalui konsep sedulur papat lima pancer, dalam konsep pewayangan yang makna dan hakikatnya dapat dipelajari sebagaimana tokoh dalam Pendawa Lima (lihat dalam tulisan Pusaka Kalimasadha). Namun demikian, dalam perjalanannya mengalami pasang surut dan proses dialektika dengan anasir asing yakni; Hindu, Budha, Arab. Leluhur bangsa kita memiliki karakter selalu positif thinking, toleransi tinggi, andap asor. Sehingga nenek moyang kita, para leluhur yang masih peduli dengan kearifan lokal, secara arif dan bijaksana mereka tampil sebagai penyelaras sekaligus cagar kebudayaan Jawa. Setelah Islam masuk ke Nusantara, ajaran Kejawen mendapat anasir Arab dan terjadi sinkretisme, sedulur papat keblat kemudian diartikan pula sebagai empat macam nafsu manusia yakni nafsu lauwamah (biologis), amarah (angkara murka), supiyah (kenikmatan/birahi/psikologis), dan mutmainah (kemurnian dan kejujuran). Sedangkan ke lima yakni pancer diwujudkan dalam dimensi nafsu mulhimah (sebagai pengendali utama atau tali suh atas keempat nafsu sebelumnya. Konvergensi antara Kejawen dengan tradisi Arab disusunlah klasifikasi sifat-sifat nafsu jasadiah di atas dengan diaplikasikan ke dalam lambang aslinya yakni tokoh wayang; 1. Lauwamah = Dosomuko, 2. Amarah = Kumbokarno, 3. Supiyah = Sarpo Kenoko, 4. Mutma’inah = Gunawan Wibisono.
Tulisan ini saya persembahkan kepada seluruh pembaca yang budiman sebagai penambah referensi dan informasi untuk generasi bangsa. Karena kita sadari sulitnya mendapatkan referensi sehingga seringkali dalam beberapa pembahasan maknanya menjadi salah kaprah. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi siapapun, walau sedikit dan masih banyak kekurangan di sana-sini. Rahayu;

sumber : sabdalangit

Minggu, 02 Februari 2014

Sanepan

01. Abang dluwang (putih/pucęt bangęt)
02. Abót kapúk (entheng bangęt)
03. Abót męrang sagędhęng (entheng bangęt)
04. Agal glepúng (lumer bangęt)
05. Aji gódhóng garíng (ora ĺnĺ ajiné)
06. Amba gódhóng kélór (ciyút bangęt)
06. Antęng kitiran (polah ora karuwan)
07. Arang kranjang (kęręp bangęt)
08. Arang wulu kucing (akeh/kerep bangęt)
09. Arúm jamban (bangęr bangęt)
10. Atós dębóg (ęmpuk bangęt)
11. Bantęr kéyong (alon bangęt)
12. Bęning lęri (buthęg bangęt)
13. Bénjo tampah (bundęr bangęt)
14. Brintík linggís (lurús/kaku bangęt)
15. Dhuwúr kęncúr (ęndhek bangęt)
16. Gędhe guręm (cilík bangęt)
17. Jęro tapak męri (cęthek bangęt)
18. Kandęl kulít bawang (tipís bangęt)
19. Kędhep tęsmak (jingglęng/męnthęlęng)
20. Kuníng silít kwali (iręng bangęt)
21. Kuru semangka (lęmu bangęt)
22. Landhęp dhęngkúl (kęthúl bangęt)
23. Lęgi bratawali (pait bangęt)
24. Lęmęs pikulan (kaku bangęt)
25. Lónjóng mimís (mlayu)(bantęr bangęt)
26. Pait madu (lęgi bangęt)
27. Pęręt bęton (lunyu bangęt)
28. Ręsík pęcęren (ręgęd bangęt)
29. Rindhík asu digitík (cępęt bangęt)
30. Suwé banyu sinaring (cępęt bangęt)
31. Suwé mijęt wóhing ranti (cępęt bangęt)

Tembung Garba, Kata Gaul Jawa

01. aglis    såkå tembúng : age + gêlis
02. anèng    såkå tembúng : ånå + ing
03. aranèki  såkå tembúng : arané + ki
04. dadyåwúh såkå tembúng : dadi + éwuh
05. dhêmênyar såkå tembúng : dhêmên + anyar
06. duparså  såkå tembúng : dupi + årså
07. jalwèstri såkå tembúng : jalu + èstri
08. kadyå    såkå tembúng : kadi + kåyå
09. kajwarèng såkå tembúng : kajuwårå + ing
10. kalokèng såkå tembúng : kalokå + ing
11. kapyarså såkå tembúng : kapirêng + arsa
12. kalyan   såkå tembúng : kalih + lan
13. lagyantuk såkå tembúng : lagi + antuk
14. 1agyaníng såkå tembúng : lagi + níng
15. 1êbdhèng såkå tembúng : lebdhå + ing
16. lumakèng såkå tembúng : lumaku + ing
17. lumêbèng såkå tembúng : lumêbu + ing
18. maharjå  såkå tembúng : måhå + råjå
19. maharsi  såkå tembúng : måhå + arsi
20. mahamêru såkå tembúng : måhå + mêru
21. malebèng såkå tembúng : malebu + ing
22. mungging såkå tembúng : munggúh + ing
23. murbèng  såkå tembúng : múrba + ing
24. murwèng  såkå tembúng : murwå + ing
25. narendrå såkå tembúng : nårå + indrå
26. narpati  såkå tembúng : nårå + dipati
27. narpéndah såkå tembúng : nårå + éndah
28. natèng   såkå tembúng : nåtå + ing
29. nujwari  såkå tembúng : nuju + an
30. praptèng såkå tembúng : praptå + ing
31. prawirèng såkå tembúng : prawirå + ing
32. prawirotåmå såkå tembúng : prawirå + utåmå
33. priyagúng såkå tembúng : priyå + agung
34. priyanggå såkå tembúng : priyå + anggå
35. ratwagung såkå tembúng : ratu + agung
36. ratwelok såkå tembúng : ratu + élok
37. sarotåmå såkå tembúng : saru + utåmå
38. sedyarså såkå tembúng : sedyå + arså
39. sinóm    såkå tembúng : isih + enóm
40. sirèku   såkå tembúng : sirå + iku
41. sitinggíl såkå tembúng : siti + inggíl
42. sugyartå såkå tembúng : sugih + artå
43. sumbangsíhsåkå tembúng : sumbang + asih
44. surendrå såkå tembúng : surå + indrå
45. surêng   såkå tembúng : surå + ing
46. surendrå såkå tembúng : sutå + indrå
47. taksyalit såkå tembúng : taksih + alit
48. tankocap såkå tembúng : tanpå + ucap
49. tumengèng såkå tembúng : tumengå + ing
50. tumekèng såkå tembúng : tumekå + ing
51. tumekèng såkå tembúng : tumekå + ing
52. tumujwèng såkå tembúng : tumuju + ing
53. wirotåmå såkå tembúng : wiro + utåmå
54. yèku     saka tembung : yå + iku

Bebasan Sanepan, Peribahasa Jawa

Dalam khasanah sastra Jawa dikenal apa yang dinamakan bebasan,sanepan, atau saloka. Merupakan bentuk peribahasa yang berisi makna kiasan sebagai sarana mempermudah penggambaran suatu keadaan. Keadaan bisa berupa fakta realitas yang tidak biasa terjadi, sindiran, sarkasme, dan suatu kenyataan yang paradoksal. Dirangkai dalam gaya bahasa, kata dan kalimat yang indah, lembut agar tidak mudah menyinggung perasaan orang namun mudah sebagai pengingat. Pada saat ini kekayaan sastra Jawa terasa sangat minim, tidak lebih dari bahasa sehari-hari yang diterapkan dalam pergaulan masyarakat Jawa dan lainnya. Namun bila anda ingin menggunakan dalam wacana komunikasi sehari-hari tampaknya masih relevan, dan saya pikir masih bermanfaat untuk megistilahkan atau membahasakan suatu kejadian atau peristiwa yang tidak wajar. Kalimat yang digunakan ibarat pantun yang terkadang terasa lucu dan aneh. Apapun tastenya, berikut ini peribahasa yang dapat kami kumpulkan dari berbagai sumber khasanah pustaka Jawa dan nara sumber langsung. Semoga bermanfaat untuk anda sekalian yang masih peduli kebudayaan lokal asli nusantara maupun bagi yang gemar olah sastra dan budaya lokal.

A
Adhang-adhang tetese embun : njagakake barang mung sak oleh-olehe.
Adigang, adigung, adiguna : ngendelake kekuwatane, kaluhurane lan kepinterane.
Aji godhong garing (aking) : wis ora ana ajine / asor banget.
Ana catur mungkur : ora gelem ngrungokake rerasan kang ora becik.
Ana daulate ora ana begjane : arep nemu kabegjan nanging ora sida(untub-untub).
Ana gula ana semut : papan sing akeh rejekine, mesti akeh sing nekani.
Anak polah bapa kepradah : tingkah polahe anak dadi tanggungjawabe wong tuwa.
Anggenthong umos (bocor/rembes) : wong kang ora bisa nyimpen wewadi.
Angon mongso : golek waktu kang prayoga kanggo tumindak.
Angon ulat ngumbar tangan : ngulatake kahanan menawa kalimpe banjur dicolong.
Arep jamure emoh watange : gelem kepenake ora gelem rekasane.
Asu rebutan balung : rebutan barang kang sepele.
Asu belang kalung wang : wong asor nanging sugih.
Asu gedhe menang kerahe : wong kang dhuwur pangkate mesti bae gede panguwasane.
Asu marani gebuk : njarak / sengaja marani bebaya.
Ati bengkong oleh obor : wong kang duwe niyat ala malah oleh dalan.

B
Baladewa ilang gapite (jepit wayang) : ilang kekuwatane / kaluhurane.
Banyu pinerang ora bakal pedhot (sigar) : pasulayan sedulur ora bakal medhotake sedulurane.
Bathang lelaku : lunga ijen ngambah panggonan kang mbebayani.
Bathok bolu isi madu (bolong telu) : wong asor nanging sugih kepinteran.
Blaba wuda : saking lomane nganti awake dhewe ora keduman.
Bebek mungsuh mliwis : wong pinter mungsuh wong kang podho pintere.
Becik ketitik ala ketara : becik lan ala bakal konangan ing tembe mburine.
Belo melu seton (malem minggu) : manut grubyuk ora ngerti karepe (taklid).
Beras wutah arang bali menyang takere : barang kang wis owah ora bakal bali kaya maune.
Bidhung api rowang : ethok-ethok nulung nanging sejatine arep ngrusuhi.
Balilu tan pinter durung nglakoni (bodho) : wong bodho sering nglakoni, kalah pinter ro wong pinter nanging durung tau nglakoni.
Bubuk oleh leng : wong duwe niyat ala oleh dalan.
Bung pring petung : bocah kang longgor (gelis gedhe).
Buntel kadut, ora kinang ora udud : wong nyambut gawe borongan ora oleh mangan lan udud.
Buru (mburu) uceng kelangan dheleg : golek barang sepele malah kelangan barang luwih gedhe.
Busuk ketekuk, pinter keblinger : wong bodho lan pinter padha wae nemu cilaka.

C
Carang canthel : ora diajak guneman nanging melu-melu ngrembug.
Car-cor  kaya kurang janganan : ngomong ceplas-ceplos oran dipikir disik.
Cathok gawel (timangan sabuk) : seneng cawe-cawe mesthi ora diajak guneman.
Cebol nggayuh lintang : kekarepan kang ora mokal bisa kelakon.
Cecak nguntal cagak (empyak) : gegayuhan kang ora imbang karo kekuwatane.
Cedhak celeng boloten (gupak lendhut) : cedhak karo wong ala bakal katut ala.
Cedhak kebo gupak :  cedhak karo wong ala bakal katut ala.
Ciri wanci lelai ginawa mati : pakulinan ala ora bisa diowahi yen durung nganti mati.
Cincing-cincing meksa klebus : karepe ngirit nanging malah entek akeh.
Criwis cawis : seneng maido nanging yo seneng menehi/muruki.
Cuplak andheng-andheng, yen ora pernah panggonane bakal disingkirake : wong kang njalari ala becike disingkirake.

D
Dadiya banyu emoh nyawuk, dadiya godhong emoh nyuwek, dadiyo suket emoh nyenggut : wis ora gelem nyanak / emoh sapa aruh.
Dahwen ati open (seneng nacad) :  nacad nanging mbenerake wong liya.
Dandhang diunekake kuntul, kuntul diunekake dandhang : ala dianggep becik, becik dianggep ala.
Desa mawa cara, negara mawa tata : saben panggonan duwe cara utawa adat dhewe-dhewe.
Dhemit ora ndulit, setan ora doyan : tansah diparingi slamet, ora ana kang ngganggu gawe.
Digarokake dilukoke : dikongkon nyambut gawe abot.
Didhadhunga medhot, dipalangana mlumpat :  wong kang kenceng karepe ora kena dipenggak.
Diwenehi ati ngrogoh rempela : diwenehi sithik ora trima, malah njaluk sing akeh.
Dom sumuruping mbanyu : laku sesideman kanggo meruhi wewadi.
Dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan : senajan wong liya yen lagi nemoni rekasa bakal dibelani.
Duka yayah sinipi, jaja bang mawinga-wingi : wong kang nesu banget.
Dudutan lan anculan (tali memeden sawah) : padha kethikan, sing siji ethok-ethok ora ngerti.
Durung pecus keselak besus : durung sembada nanging kepengin sing ora-ora.

E
Eman-eman ora keduman : karepe eman malah awake dewe ora keduman.
Emban cindhe emban siladan (slendang iratan pring) : pilih kasih / ora adil.
Embat-embat celarat (klarap) :  wong nyambut gawe kanthi ngati-ati banget.
Emprit abuntut bedhug : perkara sing maune sepele dadi gedhe /ngambra-ambra.
Endhas gundul dikepeti : wis kepenak ditambahi kepenak maneh.
Endhas pethak ketiban empyak : wong kang bola-bali nemu cilaka.
Enggon welut didoli udhet : panggone wong pinter dipameri kepinteran sing ora sepirowa.
Entek ngamek kurang golek : anggone nyeneni/nguneni sakatoge.
Entek jarake : wis entek kasugihane.
Esuk dhele sore tempe : wong kang ora tetep atine (mencla mencle).

G
Gagak nganggo lar-e  merak : wong asor / wong cilik tumindak kaya wong luhur (gedhe).
Gajah alingan suket teki : lair lan batine ora padha, mesthi bakal ketara.
Gajah (nggajah) elar : sarwa gedhe lan dhuwur kekarepane.
Gajah ngidak rapah (godhong garing) : nerang wewalere dewe.
Gajah perang karo gajah, kancil mati ing tengahe : wong gedhe sing padha pasulayan, wong cilik sing dadi korbane.
Garang garing : wong semugih nanging sejatine kekurangan.
Gawe luwangan kanggo ngurungi luwangan : golek utang kanggo nyaur utang.
Gayuk-gayuk tuna, nggayuh-nggayuh luput : samubarang kang dikarepake ora bisa keturutan.
Gliyak-gliyak tumindak, sareh pakoleh : senajan alon-alon anggone tumindak, nanging bisa kaleksanan karepe.
Golek banyu bening : meguru golek kawruh kang becik.
Golek-golek ketemu wong luru-luru : karepe arep golek utangan malah dijaluki utang.
Gupak pulute ora mangan nangkane : melu rekasa nanging ora melu ngrasakake kepenake.

I
Idu didilat maneh : murungake janji kang wis diucapake.
Iwak lumebu wuwu : wong kena apus kanthi gampang.

J
(n)Jagakake endhoge si blorok : njagagake barang kang durung mesthi ana lan orane.
(n)Jajah desa milang kori : lelungan menyang ngendi-endi.
Jalma angkara mati murka : nemoni cilaka jalaran saka angkara murkane.
(n)Jalukan ora wewehan : seneng njejaluk ora seneng menehi.
Jati ketlusupan ruyung : kumpulane wong becik kelebon wong ala.
Jaran kerubuhan empyak : wong wis kanji (kapok) banget.
Jarit lawas ing sampire : duwe kapinteran nanging ora digunakake.
Jer basuki mawa bea : samubarang gegayuhan mbutuhake wragat.
Jujul muwul : perkara kang nambah-nambahi rekasa.
(n)Junjung ngetebake / ngebrukake : ngalembana nanging duwe maksud ngasorake.

K
Kacang ora ninggal lanjaran : kebiasa-ane anak nirokake wong tuwane.
Kadang konang : gelem ngakoni sedulur mung karo sing sugih.
Kala cacak menang cacak : samubarang panggawean becik dicoba dhisik bisa lan orane.
Kandhang langit, bantal ombak, kemul mega : wong sing ora duwe papan panggonan.
Katepang ngrangsang gunung : kegedhen karep/panjangka sing mokal bisa kelakon.
Katon kaya cempaka sawakul : tansah disenengi wong akeh.
Kaya banyu karo lenga : wong kang ora bisa rukun.
Kakehan gludug kurang udan : akeh omonge ora ana nyatane.
Kabanjiran segara madu : nemu kabegjan kang gedhe banget.
Kebat kliwat, gancang pincang : tumindak kesusu mesthi ora kebeneran.
Kebo bule mati setra : wong pinter nanging ora ana kang mbutuhake.
Kebo ilang tombok kandhang : wis kelangan, isih tombok wragat kanggo nggoleki, malah ora ketemu.
Kebo kabotan sungu : rekasa kakehan anak / tanggungan.
Kebo lumumput ing palang : ngadili perkara ora nganggo waton.
Kebo mulih menyang kandhange : wong lunga adoh bali menyang omahe / asale.
Kebo nusu gudel : wong tuwa njaluk wulang wong enom.
Kegedhen empyak kurang cagak : kegedhen karep nanging ora sembada.
Kajugrugan gunung menyan : oleh kabegjan kang gedhe banget.
Kekudhung walulang macan : ngapusi nggawa jenenge wong kang diwedeni.
Kelacak kepathak : ora bisa mungkir jalaran wis kebukten.
Kena iwake aja nganti buthek banyune : sing dikarepake bisa kelakon nanging aja nganti dadi rame/rusak.
Kencana katon wingko : senajan apik nanging ora disenengi.
Kendel ngringkel, dhadang ora godak : ngakune kendel tur pinter jebule jirih tur bodho.
Kenes ora ethes : wong sugih amuk nanging bodho.
Keplok ora tombok : wong senengane komentar thok nanging ora gelem tumindak.
Kere munggah mbale : batur dipek bojo karo bendarane.
Kere nemoni malem : wong kang bedigasan / serakah.
Kerot ora duwe untu : duwe kekarepan nanging ora duwe beaya / wragat.
Kerubuhan gunung : wong nemoni kesusahan sing gedhe banget.
Kesandhung ing rata, kebentus ing tawang : nemoni cilaka kang ora kenyana-nyana.
Ketula-tula ketali : wong kang tansah nandang sengsara.
Kethek saranggon : kumpulane wong kang tindakane ala.
Kleyang kabur kanginan, ora sanak ora kadhang : wong kang ora duwe panggonan sing tetep.
Klenthing wadah uyah : angel ninggalake pakulinan tumindak ala.
Kongsi jambul wanen : nganti tumekan tuwa banget.
Krokot ing galeng : wong kang mlarat banget.
Kriwikan dadi grojogan : prakara kang maune cilik dadi gedhe banget.
Kumenthus ora pecus : seneng umuk nanging ora sembada.
Kurung munggah lumbung : wong asor / cilik didadekake wong gedhe.
Kuthuk nggendhong kemiri : manganggo kang sarwo apik/aji liwat dalan kang mbebayani.
Kutuk marani sunduk, ula marani gebuk : njarag marani bebaya.
Kuncung nganti temekan gelung : suwe banget anggone ngenteni.

L
Ladak kecangklak : wong kang angkuh nemoni pakewuh, marga tumindake dewe.
Lahang karoban manis : rupane bagus / ayu tur luhur budine.
Lambe satumang kari samerang : dituturi bola-bali meksa ora digugu.
Lanang kemangi : wong lanang kang jireh.
Legan golek momongan : wis kepenak malah golek rekasa.
Lumpuh ngideri jagad : duwe karepan kang mokal bisa keturutan.

M
Maju tatu mundur ajur : perkara kang sarwa pakwuh.
Matang tuna numbak luput : tansah luput kabh panggayuhan.
Mbuang tilas : ethok-ethok ora ngerti marang tumindak kang ala sing lagi dilakoni.
Meneng widara uleran : katon anteng nanging sejatin ala atine.
Menthung koja kena sembagine : rumangsane ngapusi nanging sejatine malah kena apus.
Merangi tatal : mentahi rembug kang wis mateng.
Mikul dhuwur mendhem jero : bisa njunjung drajate wong tuwa.
Milih-milih tebu oleh boleng : kakehan milih wekasan oleh kang ora becik.
Mrojol selaning garu : wong kang luput saka bebaya.
Mubra-mubra mblabar madu : wong sing sarwa kecukupan.

N
Nabok anyilih tangan : tumindak ala kanthi kongkonan uwong liya.
Ngagar metu kawul : ngojok-ojoki supaya dadi pasulayan, nanging sing diojoki ora mempan.
Ngajari bebek nglangi : panggawean sing ora ana paedahe.
Ngalasake negara : wong sing ora manut pranatane negara.
Ngalem legining gula : ngalembana kepinterane wong kang pancen pinter/sugih.
Ngaturake kidang lumayu : ngaturake barang kang wis ora ana.
Nglungguhi klasa gumelar : nindakake panggawean kang wis tumata.
Ngontragake gunung : wong cilik/asor bisa ngalahake wong luhur/gedhe, nganti gawe gegere wong akeh.
Nguthik-uthik macan dhedhe : njarag wong kang wis lilih nepsune.
Nguyahi segara : weweh marang wong sugih kang ora ana pituwase.
Nucuk ngiberake : wis disuguhi mangan mulih isih mbrekat.
Nututi layangan pedhot : nggoleki barang sepele sing wis ilang.
Nyangoni kawula minggat : ndandani barang sing tansah rusak.
Nyolong pethek : tansah mleset saka pametheke/pambatange.

O
Obah ngarep kobet mburi : tumindake penggede dadi contone/panutane kawula alit.
Opor bebek mentas awake dhewek : rampung saka rekadayane dhewe.
Ora ana banyu mili menduwur : watake anak biasane niru wong tuwane.
Ora ana kukus tanpa geni : ora ana sbab tanpa akibat.
Ora gonjo ora unus : wong kang ala atine lan rupane.
Ora mambu enthong irus : dudu sanak dudu kadhang.
Ora tembung ora tawung : njupuk barang liyan ora kandha disik.
Ora uwur ora sembur : ora gelem cawe-cawe babar pisan.
Ora kinang ora udud : ora mangan apa-apa.
Othak athik didudut angel : guneme sajak kepenak, bareng ditemeni jebule angel.
P
Palang mangan tandur : diwenehi kapercayan malah gawe kapitunan.
Pandengan karo srengenge : memungsuhan karo penguwasa.
Pandhitane antake : laire katon suci batine ala.
Pecruk (manuk kag magan iwak) tunggu bara : dipasrahi barang kang dadi kesenengan.
Pitik trondhol diumbar ing padaringan : wong ala dipasrahi barang kang aji, wekasane malah ngentek-entekake.
Pupur sadurunge benjut : ngati-ati sadurunge benjut.

R
Rampek-rampek kethek : nyedak-nyedak mung arep gawe kapitunan.
Rawe-rawe rantas malang-malang putung : samubarang kang ngalang-alangi bakal disingkirake.
Rebut balung tanpa isi : pasulayan merga barang kang sepele.
Rindhik asu digitik : dikongkon nindakake penggawean kang cocok karo kekarepane.
Rupa nggendhong rega : barang apik regane larang.
Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah : yen padha rukun mesti padha santosa, yen padha congkrah mesthi padha bubrah/rusak.

S
Sabar sareh mesthi bakal pikoleh : tumindak samubarang aja kesusu supaya kasil.
Sabaya pati, sabaya mukti : kerukunan kang nganti tekan pati.
Sadumuk bathuk sanyari bumi : pasulayan nganti dilabuhi tekaning pati.
Sandhing kebo gupak : cedhak wong tumindak ala, bisa-bisa katut ala.
Satru mungging cangklakan : mungsuh wong kang isih sanak sedulur.
Sadhakep awe-awe : wis ninggalake tumindak ala, nanging batien isih kepengin nglakoni maneh.
Sembur-sembur adus, siram-siram bayem : bisa kalaksanan marga oleh pandongane wong akeh.
Sepi ing pamrih, rame ing gawe : nindakake panggaweyan kanthi ora melik/pamrih apa-apa.
Sing sapa salah bakal seleh : sing sapa salah bakal konangan.
Sluman slumun slamet : senajan kurang ati-ati isih diparingi slamet.
Sumur lumaku tinimba, gong lumaku tinabuh : wong kang kumudu-kudu dijaluki piwulang/ditakoni.

T
Tebu tuwuh socane : prakara kang wus apik, bubrah marga ana sing ngrusuhi.
Tega larane ora tega patine : senajan negakake rekasane, nanging isih menehi pitulungan.
Tekek mati ing ulone : nemoni cilaka margo saka guneme dhewe.
Tembang rawat-rawat, ujare mbok bakul sunambiwara : kabar kang durung mesthi salah lan benere.
Timun jinara : prakara gampang banget.
Timun mungsuh duren : wong cilik mungsuh wang kuwat/panguwasa, mesthi kalahe.
Timun wungkuk jaga imbuh : wong bodho kanggone yen kekurangan wae.
Tinggal glanggang colong playu : ninggalake papan pasulayan.
Tulung (nulung) menthung : katone nulungi jebule malah nyilakani.
Tumbak cucukan : wong sing seneng adu-adu.
Tuna sathak bathi sanak : rugi bandha nanging bathi paseduluran.
Tunggak jarak mrajak tunggak jati mati : prakara ala ngambra-ambra, prakara becik kari sethitik.

U
Ucul saka kudangan : luput saka gegayuhane.
Ulat madhep ati manteb : wis manteb banget kekarepane.
Undaking pawarta, sudaning kiriman : biasane pawarta iku beda karo kasunyatane.
Ungak-ungak pager arang : ngisin-isini.

W
Welas tanpa lalis : karepe welas nanging malah gawe kapitunan.
Wis kebak sundukane : wis akeh banget kaluputane.
Wiwit kuncung nganti gelung : wiwit cilik nganti gedhe tuwa.

Y
Yitna yuwana mati lena : sing ngati-ati bakal slamet, sing sembrana bakal cilaka.
Yiyidan mungging rampadan : biyene wong durjana/culika saiki dadi wong sing alim.
Yuwana mati lena : wong becik nemoni cilaka marga kurang ngati-ati.
Yuyu rumpung mbarong ronge : omahe magrong-magrong nanging sejatine mlarat.

sumber : sabdalangit.wordpress.com