Sabtu, 28 April 2012

Kebatinan Kejawen

Tak uwisi gunem iki
Niyatku mung aweh wikan
Kabatinan akeh lire
Lan gawat ka liwat-liwat
Mulo dipun prayitno
Ojo keliru pamilihmu
Lamun mardi kebatinan

terjemahan;
Saya akhiri pembicaraan ini
Saya hanya ingin memberi tahu
Kabatinan banyak macamnya
Dan bisa sangat membahayakan
Maka itu berhati-hatilah
Jangan sampai kamu salah pilih
Kalau ingin belajar kebatinan

Tembang ini menggambarkan nasihat seorang tua – (pinisepuh) kepada mereka yang ingin mempelajari kabatinan atau kejawen. Kiranya perlu dipahami bahwa tujuan hakiki dari kejawen adalah mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup sejati, dan berada dalam keadaan harmonis hubungan antara kawula dan Gusti ( jumbuhing kawula Gusti )/pendekatan kepada Yang Maha Kuasa secara total.
Keadaan spiritual ini bisa dicapai oleh setiap orang yang percaya kepada Tuhan, yang mempunyai moral yang baik dan jujur, beberapa laku harus dipraktekkan dengan kesadaran dan ketetapan hati yang mantap.Pencari dan penghayat ilmu sejati diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi semua orang melalui rasa hati dan tindakannya. Cipta, rasa, karsa dan karya harus baik, benar, suci dan ditujukan untuk mamayu hayuning bawono. Ati suci jumbuhing Kawulo Gusti – hati suci itu adalah hubungan yang serasi antara Kawulo dan Gusti, tidak perlu diragukan bahwasanya kejawen merupakan aset dari orang Jawa tradisional yang mengandung nilai-nilai universal. Pandangan kejawen bisa memberikan sumbangan kepada perdamaian dan kemakmuran dunia.

Lakukan Dengan Santai
Beberapa pembaca mendapatkan bahwa keterangan yang singkat padat mengenai kejawen, seperti yang sudah diutarakan diatas, yang terdiri dari : kawruh ilmu umum dan pengalaman-pengalaman beberapa piyayi sepuh sebagai hal yang sangat menarik. Beberapa orang menghargai tujuan dari ajaran spiritual ini, tetapi katanya sulit atau berat untuk dilaksanakan, seorang piyayi sepuh memberikan nasehat yang sederhana : lakukan dengan santai.

Kejawen itu kawruh ilmu yang fleksibel, pertama-tama kamu diminta untuk memahami, jangan paksakan diri, sebagai orang yang percaya kepada Tuhan, kiranya tidak sulit bagimu untuk menjadi orang jujur. Sebagai tuntunan moral dan kehidupan, kamu diwajibkan untuk selalu bersyukur kepada Gusti, Tuhan yang maha kuasa yang telah memberimu kesempatan hidup didunia ini.
Sebagai orang yang bertanggung jawab, kamu mempunyai kewajiban :
  1. Bekerja dengan patut untuk memenuhi kebutuhanmu sendiri dan keluarga
  2. Peliharalah baik-baik kesehatan ragamu, sehingga kamu juga akan mempunyai pikiran dan jiwa yang sehat. Merawat raga dengan baik itu sangat penting untuk semua aktivitas lahir dan batin.
  3. Mempunyai budi luhur.
Dengan melakukan kewajiban-kwajiban diatas, akan lebih mudah bagimu untuk menyumbang kepada masyarakat, orang lain, negara dan dunia.

Hubungan dengan Tuhan
Biasa orang berkata, bahwa bahwa hubungan dengan Tuhan itu persoalan pribadi. Itu benar, karena hanya dirimu sendirilah yang tahu, bagaimana hubungan dengan Tuhan, apakah itu biasa-biasa saja, mendalam atau tulus.Mungkin saja kamu sendiri tidak tahu atau mungkin kamu berusaha untuk memahami Tuhan, atau sama sekali tidak perduli, yang penting kamu percaya kepada adanya Tuhan.
Apakah sudah cukup dengan mengatakan bahwa kamu percaya kepada Tuhan ? orang bijak akan menjawab “ Tidak, itu tidak cukup “. Dalam hatimu, kamu mangagungkan asmaNYA, dan hal yang paling baik kamu memuja Tuhan.

Kamu boleh menyebut Tuhan dalam bahasamu sendiri atau seperti yang diajarkan oleh agama atau kepercayaanmu, supaya merasa lebih dekat kepada Tuhan. Orang itu mempunyai yang berbeda-beda, ada orang yang selalu mumuji Tuhan sejak masa-masa kanak-kanak, ada yang ingat Tuhan hanya pada waktu mengalami kesulitan, sakit atau menghadapi masalah pelik.
Sebagai pegangan umum, kamu boleh berdoa kepada Tuhan setiap saat, dimanapun, dan dalam keadaan apapun. Tetapi untuk menjadi lebih dekat kepada Tuhan, kamu diwajibkan untuk mempunyai waktu khusus untuk menyembahNYA.

Siapkan dirimu, bersih jiwa raga, ditempat yang bersih dan tenang, bisa dikamar bisa diluar rumah, ataupun ditempat-tempat suci, katakanlah doamu dan kehendak baikmu kepada Gusti kang paring nugroho – Tuhan Yang Maha Pengasih yang memberimu kenyamanan, dengan semua kehendak dan perbuatanmu yang baik, Tuhan akan memberikan kepadamu kehidupan yang nyaman bagimu dan keluargamu. Para penghayat kejawen melakukan doa, biasanya pada malam hari sebelum tidur.

Pada siang hari mereka bekerja menunaikan kewajiban untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Persiapkanlah dirimu, berada sendirian dikamar, badan dalam keadaan rilek, dengan hati yang tenteram, kamu boleh duduk bersila dilantai atau duduk santai dikursi, katakanlah doamu yang khusuk, katakanlah permohonanmu dengan jelas dan dengan sepenuh hati. Jangan malu-malu untuk memohon ampun atas segala kesalahanmu kepada Tuhan dan berjanjilah untuk tidak membuat kesalahan lagi.

Apabila kamu tidak letih, kamu bisa melakukan latihan spiritual dengan memusatkan seluruh perhatian kepada Tuhan, dengarkanlah suara nafasmu dengan penuh perhatian, tarik nafas, keluarkan nafas secara perlahan-lahan selama lebih kurang 10 menit. Lalu dengan perasaan yang tenteram pergilah tidur, besuk kamu bangun pagi-pagi dengan badan yang fit dan pikiran yang jernih, siap untuk bekerja.
Lakukanlah ini secara teratur, sampai kamu merasa bahwa itu sama sekali tidak merupakan beban bagimu. Itu kewajiban yang kamu kerjakan dengan senang hati, kamu bisa menambahkan waktu dari latihan pernafasan menjadi 15 atau 20 menit atau lebih, tetapi ingat, jangan memaksakan kemampuan ragamu. Apabila kamu masih mempunyai waktu dan tidak capai pergilah keluar rumah, berdirilah dibawah langit kira-kira selama 5 menit untuk menghirup udara bersih, tetapi bila keadaannya tidak memungkinkan, misalnya karena hujan, cuaca buruk dan lain-lain, bukalah jendela untuk beberapa saat atau berdiri di balkom rumah itu sangat bagus menentramkan pikiran dan hatimu.

Sebisa mungkin itu lakukan dengan teratur pada waktu kamu sehat, oleh karena itu menjaga kesehatan itu penting, komsumsilah makanan yang berkualitas baik dengan lebih sedikit daging, lakukan olah raga atau senam secara teratur, bekerjalah dengan baik, beristirahatlah yang cukup lalu sediakan waktu untuk beberapa menit untuk berdoa dan melakukan latihan spiritual, dengan begitu kamu akan mempunyai keseimbangan hidup, kamu mempunyai hidup normal dan pada waktu yang bersamaan kamu lebih dekat kepada Tuhan.

Orang Baik dan Sehat
Dengan cara melakukan cara hidup seperti diatas, kamu menjdi sehat secara fisik dan mental, dalam keadaan lebih baik. Dalam pekerjaan kamu menjadi lebih produktif, dalam keluarga kamu menjadi lebih baik, kamu hidup dengan bahagia, kamu menjadi lebih bijak, orang yang suka menolong orang yang membutuhkan pertolongan.
Biasanya secara normal latihan pernafasan itu baik untuk kesehatanmu, itu membuat jantungmu lebih kuat dan badanmu dalam kondisi yang lebih baik.

Latihan pernafasan atau yang lebih serius disebut meditasi atau dalam Jawa disebut Semedi, baik juga untuk pikiran dan perasaanmu, itu akan membuat kamu lebih sabar dan kamu akan mampu mengontrol dengan lebih mudah segela kehendak. Kamu berada dalam jalan yang benar, kalau kamu merasa seperti itu, artinya kamu adalah orang baik dan sehat, kamu adalah aset berharga untuk keluargamu dan masyarakat, artinya itu sempurna lanjutkanlah lakumu dengan penuh percaya diri.

Kamu hidup dijalan yang baik dan benar, diberkahi oleh Tuhan, kamu sehat mempunyai pikiran yang logis, dan jiwa yang bersih, kamu selalu berdoa dan melakukan meditasi. Kamu menghendaki untuk memperdalam ilmu spiritualmu supaya lebih dekat kepada Tuhan, untuk mengetahui rahasia hidup.
Sekarang, kamu siap untuk menumbuhkan rasamu, itu tidak sulit, lakukanlah terus meditasi denganposisi ( patrap ) yang sama yang enak buat kamu, kamu akan memperbaiki kualitas dari latihan pernafasan, kalau tidak “ tarik nafas “ dan “ keluarkan nafas “ sekarang menjadi :
•    Tarik nafas, pelan, tenang
•    Tahan nafas, untuk beberapa saat
•    Keluarkan nafas, pelan, tenang
Fokuskan pandangan ke pucuk hidungmu, dengarkanlah baik-baik suara nafasmu, ini supaya kamu tidak memikirkan hal lain. Cobalah untuk mengkonsentrasikan pikiran rasa kepada Tuhan Yang Maha Agung.
Lakukan itu dengan santai untuk 10, 15 atau 30 menit kalau tidak capai dan ada waktu., kerjakan itu setingkat demi setingkat dan jangan pernah memaksakan diri.

Latihan ini menumbuhkan roso sedikit demi sedikit, bersamaan dengan tumbuhnya roso, cipta juga akan tumbuh, ketika cipta lebih kuat, keinginan baik akan terealisir. Sementara itu sedikit demi sedikit roso akan menjadi roso sejati, roso sejati ini adalah pemberian dzat yang suci, kamu mempunyai itu namun kamu harus menumbuhkannya. Secara spiritual, roso sejati bisa menerima sasmita ( pesan ) dan dawuh atau ( perintah ) yang selalu benar dari hidupmu yang sejati. Jadi latihan itu bisa merupakan latihan untuk cipta dan pada saat lain untuk roso, sekali lagi lakukan dengan sikap santai, jangan memaksa diri, lalu pergilah keluar rumah untuk mengirup udara segar seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, inilah cara yang efektif untuk membantu menumbuhkan roso.

Latihan Keheningan utk menwujudkan layar makrifat 3 tahap.
i.    Hening Raga
ii.    Hening Rasa
iii.    Hening Jiwa
Itu semua untuk menunjang kemudahan dalam mempelajari ilmu trawangan dan meraga sukma.Bila latihan sudah dikuasai dengan baik,anda langsung boleh melatih ilmu trawangan.Bagi yang berbakat akan langsung boleh,bagi yang kurang berbakat perlu puasa untuk mengasah ilmu trawangan dengan amalan khusus.Bagi seorang muslim dan penganut ilmu batin puasa sering di lakukan.Disini menjalani puasa bukan sekedar tidak makan dan tidak minum selama waktu yang di tetapkan.Tetapi berpuasa haruslah dari lahir sampai batinnya.Batinnya memupuk rasa sabar,tawakal dan menjahui rasa tamak,iri hati ,sombong,cemburu,jahat,dengki,dan sebagainnya,agar sempurna puasa kita.Tak ada gunannya kita berpuasa sekian hari,tetapi batin kita penuh dengan hawa nafsu,dendam dan kebencian….

ROH IDOFI
(Roh ilofi) ;adalah Roh yang sangat utama bagi manusia.Roh Idofi juga di sebut Johar Awal Suci Karena Roh inilah maka manusia boleh hidup. Bila Roh tersebut keluar dari raga maka, Manusia yang bersangkutan akan mati.Roh ini sering di sebut sebagai :nyawa:, Roh Idofi merupakan sumber dari Roh-Roh lainnya.Kalau saja Roh Idofi ini keluar dari raga manusia.Pastilah Roh-Roh lainya pun akan turut serta.Tetapi sebaliknya kalau salah satu Roh dari Roh yang lelapan itu keluar,maka Roh idolfi akan tetap tinggal,dan manusia itu akan tetap masih hidup. Alamnya Roh Idofi berupa cahaya (NUR) terang benderang dan rasanya sejuk tenteram.Tentu saja kita boleh menjumpainya bila sudah mencapai tingkat INSAN KAMIL.

ROH RABBANI
Roh yang di kuasai dan di perintah oleh Roh Idofi.Alamnya Roh ini ada di dalam cahaya (NUR) kuning diam tak bergerak. Bila kita berhasil menjumpainya maka kita tak mempunyai kehendak apa-apa.Hatipun terasa tenteram,tubuh pun tak merasakan apa-apa.

ROH ROHANI
Roh ini pun juga di kuasai dan di perintah oleh Roh Idofi.Kerana adanya Roh Rohani ini, maka manusia memiliki kehendak dua rupa.Kadang-kadang suka sesuatu,tetapi di lain waktu ia tak menyukainnya. Roh ini mempengaruhi perbuatan baik dan perbuatan buruk. Roh Rohani inilah yang menempati pada 4 jenis nafsu,yaitu;
1.    Nafsu Luwamah (Aluamah).
2.    Nafsu Amarah.
3.    Nafsu Sufiah.
4.    Nafsu Mullamah atau mutmainah.
Kalau manusia di tinggalkan oleh Roh Rohani ini, maka manusia itu tidak mempunyai nafsu lagi, sebab semua nafsu manusia itu Roh inilah yang mengendalikanya. Maka, kalau manusia sudah boleh mengendalikan Roh Rohani ini dengan baik, ia akan hidup dalam kemuliaan. Roh Rohani ini sifatnya selalu mengikuti penglihatan yang melihat. Dimana, pandangan kita tempatkan, disitu lah Roh Rohani ini berada. Sebelum kita dapat menjumpainya, terlebih dahulu kita akan melihat bermacam-macam cahaya (Nur) bagai kunang-kunang. Setelah cahaya -cahaya ini menghilang, baru muncul lah Roh Rohani itu.

ROH NURANI
Roh ini di bawah pengaruh Roh Idofi. Roh Nurani ini mempunyai pembawa sifat terang. Karana adanya Roh Ini menjadikan manusia yang bersangkutan menjadi terang hatinya.Kalau Roh Nurani meningalkan tubuh maka orang tersebut hatinya menjadi gelap dan gelap fikiranya.Roh Nurani ini hanya menguasai nafsu Mutmainah sahaja. Maka bila manusia mendominasikan Roh ini maka nafsu mutmainah akan menonjul, mengalahkan nafsu-nafsu yang lain.
Hati orang tersebut menjadi tenteram, prilakunya pun baik dan terpuji.Air mukanya bercahaya ,tidak banyak bicara, tidak ragu-ragu dalam menghadapi sesuatu, tidak protes bila di timpa kesusahan suka sedih bahagia dan derita di pandangnya sama.

ROH KUDUS (ROH SUCI)
Roh yang di bawah penguasaan Roh Idafi juga. Roh Ini mempengaruhi orang yang bersangkutan mau memberi pertolongan kepada sesama manusia, mempengaruhi berbuat kebajikan dan mempengaruhi berbuat ibadat sesuai dengan ajaran agama yang di anuti.

ROH RAHMANI
Roh di bawah kekuasaan Roh Idofi pula.Roh ini juga di sebut Roh Pemurah.Karena di ambil dari kata RAHMAN,yang artinya pemurah.Roh ini mempengaruhi manusia bersifat sosial,suka memberi.

ROH JASMANI
Roh juga di bawah kekuasaan Roh Idofi.Roh ini menguasai seluruh badan dan urat syaraf manusia.Karena adanya Roh jasmani ini maka manusia dapat merasakan adanya rasa sakit,lesu,lelah,segar dan lain-lainnya.Bila Roh ini keluar dari tubuh,maka di tusuk jarum pun tubuh tidak tersa sakit.Kalau kita berhasil menjumpainya,maka ujudnya akan sama dengan kita,hanya berwarna merah.
Roh Jasmani ini menguasai nafsu amarah dan nafsu hewani.Nafsu hewani ini mempunyai sifat dan kegemaran seperti binatang,misalnya;malas,suka setubuh,serakah,mau penting diri sendiri dan lain sebagainya.

ROH NABATI
Roh yang mengendalikan perkembangan dan pertumbuhan badan.Roh ini juga di bawah kekuasaan Roh Idofi.

ROH REWANI
Roh yang menjaga raga kita.Bila Roh Rewani keluar dari tubuh maka orang yang bersangkutan akan tidur.Bila masuk ke tubuh orang akan terjaga.Bila orang tidur bermimpi dengan arwah seseorang,maka Roh rewani dari orang bermimpi itulah yang menjumpainnya.Jadi mimpi itu hasil kerja Roh Rewani yang mengendalikan otak manusia.Roh Rewani ini juga di bawah kekuasaan Roh Idofi.Jadi kepergian Roh Rewani dan kehadirannya kembali di atur oleh Roh Idofi.Demikian juga Roh-Roh lainnya dalam tubuh, sangat dekat hubungannya Roh Idofi.

Perbedaan Asas Sosial-Demokrat dan Komunis

Perbedaan Asas Sosial-Demokrat dan Komunis  (1932)
oleh Soekarno
Sumber: Fikiran Ra’jat, 1 Juli 1932 Nomor 1, hal. 9—12.  




Sebagaimana sudah kita tulis di Fikiran Ra’jat nomor percontohan tentang sebab-sebabnya kemelaratan yang diderita oleh kaum Buruh ialah stelsel kapitalisme itu, maka di nomor ini kita akan terangkan bahwa di antara beberapa cara untuk melenyapkan stelsel kapitalisme atau kapital itu terutama dua cara yang perlu kita ketahui. Kedua faham dan cara yang mempunyai pengikut berjuta-juta kaum buruh ialah faham kaum sosial-demokrat dan fahamnya kaum komunis.
Banyak aliran-aliran lain yang juga berdasarkan ilmu sosialisme, aliran-aliran yang menentang kapitalisme dan imperialisme. Tetapi oleh karena lain-lain aliran sosialistis itu tidak begitu besar artinya di dalam perjuangan kaum buruh untuk menuntut perbaikan nasibnya, maka kita hanya mengupas sosial-demokrat dan komunis saja, kedua faham yang di dunia politik Indonesia umumnya tidak asing lagi.
Kedua faham atau isme ini di dalam hakikatnya tidak mengandung perbedaan satu sama lain, oleh karena kedua isme ini berdiri di atas faham sosialisme atau lebih tegas lagi: berdiri di atas faham Marxisme. Kedua faham adalah mengaku menjadi pengikut Marx.
Sebagaimana kapitalisme sendiri adalah sebuah faham yang mempunyai beberapa aliran, aliran-aliran mana mempunyai isme-isme sendiri yang semuanya itu bersendar di atas faham kapitalisme, maka sosialisme sebagai hasilnya kapitalisme, juga mempunyai beberapa aliran.
Di dalam faham sosialisme itu termasuk juga syndikalisme dan anarkisme, kedua faham yang di halaman Fikiran Ra’jat No. 2 kita akan kupas.
Sesudah kapitalisme itu melahirkan faham-faham baru, yang bertentangan sekali dengan faham-faham yang hidup di zaman feodalisme, maka anggapan pemandangan dan pikiran rakyat di dalam sesuatu masyarakat itu dapat maju, jika tiap-tiap orang di dalam masyarakat itu hanya mempunyai kemerdekaan untuk berusaha dan berdagang, mempunyai kemerdekaan dalam pemilikan dan kemerdekaan mengadakan perjanjian-perjanjan, di dalam praktiknya ternyata tidak betul. Justru oleh karena kemerdekaan itulah maka kapitalisme makin deras, sehingga kemelaratan lebih hebat, kesengsaraan masuk di desa-dsa di rumahnya bapak tani, menghinggapi rumah tangganya kaum pedagang dan pertukangan kecil-kecil. Oleh karena kemerdekaan itu maka nasib Rakyat menjadi nasib proletar: oleh karena kemerdekaan itu maka di satu pihak timbul kelas kapitalisme dan di lain pihak timbul kelas proletar. Kelak kaum proletar ini tidak mempunyai kekuasaan sama sekali atas alat-alat pembuatan barang-barang di pabrik-pabrik dan di-onderneming-onderneming.
Sesudah kapitalisme tua disokong oleh tenaga mesin-mesin menjadi kapitalisme modern, maka nasibnya kaum proletar itu makin jelek.
Kesengsaraan dan kesedihan yang diderita sehari-hari oleh kaum buruh tentulah melahirkan cita-cita dan harapan untuk menyelamatkan pergaulan hidup manusia yang bobrok. Cita-cita dan harapan melenyapkan kemiskinan dan kebobrokan di dalam masyarakat itu melahirkan faham sosialisme yang mengajarkan kepada pengukut-pengikutnya bahwa agar supaya pergaulan hidup bisa selamat susunannya harus bersendikan di atas aturan-aturan sosialistis. Mereka yang memiliki faham itu dinamakan kaum Sosialis.
Mula-mula mereka ini belum terang betul bagaimanakah caranya stelsel kapitalisme ini harus dilenyapkan. Mereka masih membayangkan saja. Penganjur-penganjurnya belum mendapat jalan yang terang untuk menyelamatkan pergaulan hidup. Mereka masih menghayal tentang pergaulan hidup yang selamat ialah pergaulan hidup yang tidak mengenal kesengsaraan. Kaum sosialis yang mendasarkan “teorinya” ini atas khayalan belaka itu dinamakan kaum “sosialis-utopis” (Robert Owen, Saint Simon dll).
Tetapi lambat laun mereka itu makin sadar bahwa teori yang bersandar kepada utopi itu adalah teori yang tidak dapat memberi senjata untuk membasmi kepitalisme itu dengan akar-akarnya.
Teori yang dapat menyadarkan kaum proletar tentang kedudukannya di dalam masyarakat itu ialah hanya teori yang berdasar wetenschap, ialah teori yang hasilnya jadi ilmu, penyelidikan dan pengupasan yang dalam dan luas. Teori yang berdasarkan wetenschap itu dinamakan wetenschapppelijk—schapppelijk-sosialisme, lawannya utopistis-sosialisme. Watenschapppelijk-Sosialieme bukan sosialisme khayalan, tetapi sosialisme perhitungan.
Watenschapppelijk-sosialisme itu lahir di dunia sesudah pendekar kaum proletar yang terbesar, Karl Marx mempropagandakan teorinya, bagaimanakah harusnya perjuangan kaum buruh itu untuk menuju ke dunia sosialisme.
Setelah Karl Marx mengadakan penyelidikan sedalam-dalamnya tentang akar-akarnya kapitalisme yang kebutuhannya selalu bertentangan dengan kebutuhannya kaum buruh, maka Marx mengajarkan bahwa yang dapat menjungjung derajat kaum buruh itu ialah kaum buruh sendiri. Maka dari itu kaum proletar ini harus disusun di dalam satu organisasi yang menyadarkan mereka tentang nasibnya dan oleh karena itu keharusan mereka berjuang melenyapkan segala rintangan yang menentang usaha mereka menuju ke jaman sosialisme itu. Karl Marx adalah “bapaknya” dari kaum proletar.
Sebagaimana Marxisme itu adalah teorinya pergerakan kaum buruh di Eropa, Marhaenisme itu adalah teorinya kaum Marhaen di Indonesia. Teori Marhaenisme yang terkenal adalah meerwaarde-teori, ialah mengajarkan bahwa sesuatu barang itu karena tenaga kaum buruh menjadi tambah harganya. Misalnya besi yang berharga f 500—, oleh tenaga kaum buruh dibuat menjadi mesin yang berharga f 2500—. Pertambahan harga adalah f 2000—. Tetapi f 2000— ini tidak jatuh ke tangan kaum buruh (mereka menerima sedikit sekali) tetapi di tangan kaum pemodal sendiri, dan dipakainya untuk menambah besarnya modal, karena itu maka modal itu mempunyai watak melembungkan badannya, artinya kaum pemodal itu senantiasa mempunyai watak membesar-besarkan modalnya. Teorinya yang lain, yang juga termasyur ialah “Fase Teori”, atau “Evolusi-Teori”, ialah teori yang mengajarkan arahnya perubahan dari tiap-tiap pergaulan hidup manusia yang juga menjadi sebab perubahan fahamnya, anggapan dan pikiran rakyat.
Fase-teori mengajarkan bahwa masyarakat itu di jaman purbakala adalah Ur-komunistis, artinya pergaulan hidup manusia di jaman purbakala itu diatur menurut cara tidak ada ningrat-ningratan atau kelas-kelasan. Sesudah jaman ur-komunisme ini lalu, lantas lahirlah jaman feodal. Sendi dasarnya pergaulan hidup jadi feodalistis, yakni masyarakat terbagi dalam kelas raja, ningrat dan “hamba”. Habis fase feodal ini tumbul fase kapitalisme. Mula-mula jaman voor-kapitalisme dan kemudian jadi modern kapitalisme. Jaman kapitalisme ini menuju ke fase-sosialisme. Fase-teori ini dianut oleh kaum sosial-demokrat dan juga oleh kaum komunis. Kedua aliran yang besar ini mula-mula berjuang bersama-sama di bawah “pimpinannya” Karl Marx.
Sekarang orang tanya mengapa kaum sosialis yang bersendi atas Marxisme itu terpecah menjadi dua aliran atau sayap yang menimbulkan faham sendiri-sendiri?
Pada tahun 1889 sampai tahun 1914 kedua sayap ini diikat oleh satu badan yang bernama Tweede-Internationale atau di dalam bahasa Indonesia: Internasional-Kedua. Tetapi dalam tahun 1914 persatuan partai kaum buruh ini terpecah menjadi dua aliran: sayap yang satu memisahkan diri menjadi sosial-demokrat dan sayap yang lain menamakan dirinya kaum komunis. Perpecahan itu terjadi oleh karena kedua sayap ini tidak bisa akur pendiriannya satu sama lain tentang mufakat atau tidaknya kaum proletar terutama di negeri-negeri kapitalis turut menyokong peperangan dunia di tahun 1914. Kaum sosial-demokrat suka menyokong peperangan dunia itu, tetapi kaum komunis sama sekali anti peperangan. Kaum sosial-demokrat berpendapat bahwa kaum proletar harus turut menyokong pemerintahan dalam negeri “verdedigings-oorlog jika ada musuh menyerang negerinya.
Kaum komunis mendirikan Internasionale sendiri ialah: "Derde-Internasionale” ialah Internasional-Ketiga di Moskow di bulan Maret 1919. Pemimpin-pemimpin terbesar dari kaum komunis ialah Lenin, Trotsky dan Zinoview mengajarkan bahwa pergaulan hidup manusia tidak harus tumbuh sebagaimana sudah digambarkan di dalam teori-teorinya Karl-Marx, tetapi pergaulan hidup dapat mengadakan fase-sprong, artinya bahwa masyarakat yang masih berada di dalam fase feodal itu tidak harus melalui zaman kapitalisme lebih dulu untuk menuju ke jaman sosialisme.
Dus pergaulan hidup Rusia yang masih feodal itu bisa terus masuk jaman sosialisme, zonder menginjak fase jaman kapitalisme dulu, asal saja cukup alat-alatnya. Teori yang demikian ini dinamakan teori fase-sprong.
Kaum sosial-demokrat membantah teori fase-sprong ini. Oleh sosial-demokrat fase-sprong ini disebutkan anti-Marxisme. Mereka mengajarkan bahwa tiap-tiap pergaulan hidup itu harus tumbuh menurut wet-wet-nya alam. Karl Kautsky, pemimpinnya sosial-demokrat berkata bahwa wet-evolusi—fase teori—yang digambarkan oleh Marx itu harus tunduk. Sosial-demokrat berkata: “Marx bilang, bahwa masyarakat bergerak melalui beberapa fase, yakni melalui beberapa tingkat. Dulu fase ur-komunisme, kemudian fase feodal (ningrat-ningratan), kemudian fase modern-kapitalisme, kemudian fase sosialisme. Tiap-tiap fase harus dilalui. Sesudah fase ur-komunis tidak boleh tidak tentu fase feodal. Sesudah fase feodal tidak boleh tidak tentu fase voor-kapitalisme; dan begitu seterusnya. Dus masyarakat tidak bisa melompati sesuatu fase. Misalnya naik kereta api dari Bandung ke Jakarta harus melalui Cimahi, kemudian Padalarang, kemudian Purwakarta, kemudian Cikampek, kemuduan Kerawang, kemudian Jakarta. Mau-tidak-mau semua tempat itu harus dilalui oleh kereta api itu. Tidak bisa dari Cimahi sekonyong-konyong Purwakarta, dengan melompati Purwakarta, dengan melampaui Padalarang itu dengan secepat-cepatnya, melompati Padalarang kita tidak bisa. “Begitu pula dalam kita masuk ke fase sosialisme. Kapitalisme tidak boleh tidak harus dilewati. Bagian kita ialah melewati fase kapitalisme itu dengan secepat-cepatnya, supaya bisa selekas-lekasnya diganti fase sosialisme!”—begitulah kaum sosial demokrat berkata sebagai bantahan atas sikap kaum komunis yang dari feodalisme (masyarakat Rusia masih 60% feodalisme) ujung-ujung masuk ke fase sosialisme.
Perbedaan yang kedua ialah bahwa tiap-tiap orang—menurut kaum sosial-demokrat—yang hidup di dalam suatu masyarakat itu adalah jadi anggota masyarakat itu dan oleh karena itu ia berhak mengeluarkan pikirannya, kemauannya dan cita-citanya tentang cara-cara masyarakat itu diatur. Dus dengan lain perkataan pergaulan hidup itu harus diatur secara demokratis. Tetapi kaum komunis mengajarkan bahwa demokrasi itu di dalam hakikatnya tidak memberi kemerdekaan kepada Rakyat. Di dalam praktiknya, kata mereka, demokrasi itu tidak ada. Dan jika demokrasi ini ada, kerakyatan itu tidaklah dapat memberi hak-hak kepada Rakyat untuk mengatur pergaulan hidup. Dus demokrasi itu adalah perkataan kosong belaka. Kaum komunis oleh karena itu tidak mufakat dengan demokrasi itu tetapi mengajarkan bahwa hanyalah “diktator-proletariat” saja (artinya bahwa hanya kaum proletar saja yang mempunyai suara) yang dapat memberi kekuasaan hidup manusia itu bagi keselamatan masyarakat. Diktato-proletariat itu adalah suatu alat untuk mendatangkan pergaulan hidup sosialistis—begitulah kaum komunis berkata. Di dalam diktator-proletariat ini, maka orang-orang yang bukan proletar tidak boleh ikut bersuara. Orang-orang yang bukan proletar tidak diberi stem di dalam pemerintahan negeri.
Inilah perbedaan antara sosial-demokrasi dan komunis tentang asas, yakni dua berpedaan yang fundamental. Untuk kali ini cukuplah sekian saja. Masih banyak lagi berbedaan-perbedaan yang lain. Tetapi untuk sekarang sekian saja.
Eropa Barat memiliki Sosial-Demokrasi; Rusia memiliki Komunisme; Tiongkok San Min Cu I; India mempunya Gandhiisme; marilah kita di Indonesia mempropagandakan kita punya Marhaenisme!
(Fikiran Ra’jat No. 2 memuat pengupasan tentang faham syndikalisme dan anarkisme).

Jumat, 27 April 2012

KH Hasyim Asy'ari

KH. Muhammad Hasyim Asy'ari (selanjutnya disingkat Kiai Hasyim) adalah pendiri pesantren Tebuireng, tokoh ulama dan pendiri NU, organisasi Islam terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara. Namanya sudah tidak asing lagi di telinga orang Indonesia. Pahlawan nasional ini merupakan salah satu tokoh besar Indonesia abad ke-20.

Kelahiran dan Masa Kecil
Kiai Hasyim lahir pada Selasa Kliwon, 24 Dzul Qa’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Februari l871 M, di pesantren Gedang, desa Tambakrejo, sekitar 2 km. ke arah utara kota Jombang. Putra ketiga dari 11 bersaudara pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah. Kiai Asy’ari adalah menantu Kiai Utsman, pengasuh pesantren Gedang.
Dari jalur ayah, nasab Kiai Hasyim bersambung kepada Maulana Ishak hingga Imam Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir. Sedangkan dari jalur ibu, nasabnya bersambung kepada Raja Brawijaya VI (Lembu Peteng), yang berputra Karebet atau Jaka Tingkir. Jaka tingkir adalah raja Pajang pertama (tahun 1568 M) dengan gelar Sultan Pajang atau Pangeran Adiwijaya.

Bakat kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain, karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.
Pada tahun 1293 H/1876 M., tepatnya ketika berusia 6 tahun, Hasyim kecil bersama kedua orang tuanya pindah ke Desa Keras, sekitar 8 km. ke selatan Kota Jombang. Kepindahan mereka adalah untuk membina masyarakat di sana.
Di Desa Keras, Kiai Asy’ari diberi tanah oleh sang Kepala Desa, yang kemudian digunakan untuk membangun rumah, masjid, dan pesantren. Di sinilah Hasyim kecil dididik dasar-dasar ilmu agama oleh orang tuanya. Hasyim juga dapat melihat secara langsung bagaimana ayahnya membina dan mendidik para santri. Hasyim hidup menyatu bersama santri. Ia mampu menyelami kehidupan santri yang penuh kesederhanaan dan kebersamaan. Semua itu memberikan pengaruh yang sangat besar pada pertumbuhan jiwa dan pembentukan wataknya di kemudian hari. Hal ini ditunjang oleh kecerdasannya yang memang brilian. Dalam usia 13 tahun, Hasyim sudah bisa membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar daripada dirinya.
Disamping cerdas, Hasyim juga dikenal rajin bekerja. Watak kemandirian yang ditanamkan sang kakek, mendorongnya untuk berusaha memenuhi kebutuhan diri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Itu sebabnya, Hasyim selalu memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar mencari nafkah dengan bertani dan berdagang. Hasilnya kemudian dibelikan kitab dan digunakan untuk bekal menuntut ilmu.

Mencari Ilmu
Pada usia 15 tahun, remaja Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya untuk berkelana memperdalam ilmu pengetahuan. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonorejo Jombang, lalu pesantren Wonokoyo Probolinggo, kemudian Pesantren Langitan Tuban, dan Pesantren Trenggilis Surabaya. Belum puas dengan ilmu yang diperolehnya, Hasyim melanjutkan rihlah ilmiyahnya ke Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, di bawah asuhan Kiai Kholil bin Abdul Latif yang terkenal waliyullah itu.
Setelah lima tahun menuntut ilmu di Bangkalan, pada tahun 1307 H/1891 M., Kiai Hasyim kembali ke tanah Jawa dan belajar di pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, di bawah bimbingan Kiai Ya’qub. Pemuda Hasyim belajar selama 5 tahun di sana. Lalu pada usia 21 tahun, dia dinikahkan dengan Nafisah, salah seorang puteri Kiai Ya'qub. Pernikahan itu dilangsungkan pada tahun 1892 M/1308 H.
Tidak lama kemudian, Kiai Hasyim bersama istri dan mertuanya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Kesempatan di tanah suci juga digunakan untuk memperdalam ilmu pengetahuan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu hadis.
Tujuh bulan telah berlalu, Nyai Nafisah pun melahirkan seorang putera yang diberi nama Abdullah. Kiai Hasyim bersama istri dan mertuanya sangat bahagia dengan kelahiran bayi mungil tersebut.
Perjalanan hidup terkadang sulit diduga; gembira dan sedih datang silih berganti. Demikian juga yang dialami Kiai Hasyim. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia di tanah suci Mekah.
Empat puluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, menyusul sang ibu. Kesedihan Kiai Hasyim nyaris tak tertahankan. Namun beliau selalu ingat kepada Allah dengan melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya. Beberapa bulan kemudian, Kiai Hasyim kembali ke Indonesia untuk mengantar mertuanya pulang.

Belajar Lagi di Tanah Suci
Kerinduan akan tanah suci mengetuk hati Kiai Hasyim untuk kembali lagi ke kota Mekah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke Mekah bersama adik kandungnya, Anis. Namun Allah kembali menguji kesabaran Kiai Hasyim, karena tak lama setelah tiba di Mekah, Anis dipanggil oleh Yang Maha Kuasa.
Peristiwa ini tidak membuat Kiai Hasyim hanyut dalam kesedihan. Kiai Hasyim justru semakin mencurahkan seluruh waktunya untuk belajar dan mendekatkan diri kepada Allah. Di tengah-tengah kesibukan menuntut ilmu, beliau menyempatkan diri berziarah ke tempat-tempat mustajab, seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, termasuk ke makam Rasulullah SAW. Setiap Sabtu pagi beliau berangkat menuju Goa Hira’ di Jabal Nur, kurang lebih 10 km. di luar Kota Mekkah, untuk mempelajari dan menghafalkan hadis-hadis Nabi.
Setiap berangkat menuju Goa Hira’, Kiai Hasyim selalu membawa al-Qur’an dan kitab-kitab yang ingin dipelajarinya. Beliau juga membawa perbekalan untuk dimakan selama enam hari di sana. Jika hari Jum’at tiba, beliau bergegas turun menuju Kota Mekkah guna menunaikan salat Jum’at di sana.
Kiai Hasyim juga rajin menemui ulama-ulama besar untuk belajar dan mengambil berkah dari mereka. Guru-guru Kiai Hasyim selama di Mekkah, antara lain: Syeikh Syuaib ibn Abdurrahman, Syekh Mahfudzh at-Turmusi, Syekh Khatib al-Minagkabawi, Syekh Ahmad Amin al-Athar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said al-Yamani, Syekh Rahmatullah, dan Syekh Bafaddhal.
Sejumlah sayyid juga menjadi gurunya, antara lain: Sayyid Abbas al-Maliki, Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas, Sayyid Alwi al-Segaf, Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi, dan Sayyid Husain al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di Makkah. Di antara mereka, ada tiga orang yang sangat mempengaruhi wawasan keilmuan Kiai Hasyim, yaitu Sayyid Alwi bin Ahmad al-Segaf, Sayyid Husain al-Habsyi, dan Syekh Mahfudzh al-Turmusi.
Setelah ilmunya dinilai mumpuni, Kiai Hasyim dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram bersama tujuh ulama Indonesia lainnya, seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Anmad Khatib al-Minakabawi, dll. Di sana beliau mempunyai banyak murid dari berbagai negara. Diantaranya ialah Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India), Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Mekkah), Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria), KH. Abdul Wahhab Hasbullah (Tambakberas, Jombang), K.H.R. Asnawi (Kudus), KH. Dahlan (Kudus), KH. Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH. Shaleh (Tayu).
Pada tahun ketujuh di Makkah—tepatnya tahun 1899 (1315 H)—datang rombongan jamaah haji dari Indonesia. Diantara rombongan terdapat Kiai Romli dari desa Karangkates Kediri, beserta putrinya yang bernama Khadijah. Kiai Romli yang bersimpati kepada Kiai Hasyim mengambilnya sebagai menantu untuk dijodohkan dengan Khadijah.
Setelah pernikahan itu, Kiai Hasyim bersama istrinya pulang kembali ke tanah air. Pada awalnya, beliau tinggal di Kediri selama beberapa bulan. Menurut sumber lainnya, Kiai Hasyim langsung menuju pesantren Gedang yang diasuh oleh Kiai Usman, dan tinggal di sana membantu sang kakek. Setelah itu beliau membantu ayahnya, Kiai Asy’ari, mengajar di Pondok Keras.


Mendirikan Pesantren Tebuireng
Tahun 1899, Kiai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal.
Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kiai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang.
Setelah dua tahun membangun Tebuireng, Kiai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan.
Kiai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kiai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf.
Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kiai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kiai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.

Pendidik sejati
Selain mumpuni dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran, memutuskan persoalan-persoalan aktual kemasyarakatan, dan mengarang kitab. Pada tahun 1919, ketika masayarakat sedang dilanda informasi tentang koperasi sebagai bentuk kerjasama ekonomi, Kiai Hasyim tidak berdiam diri. Beliau aktif bermuamalah serta mencari solusi alternatif bagi pengembangan ekonomi umat, dengan berdasarkan pada kitab-kitab Islam klasik. Beliau membentuk badan semacam koperasi yang bernama Syirkatul Inan li Murabathati Ahli al-Tujjar.
Kiai Hasyim juga tipe pendidik yang sulit dicari tandingannya. Sejak pagi hingga malam, Kiai Hasyim menghabiskan waktunya untuk mengajar. Pada pagi hari, kegiatan beliau dimulai dengan menjadi imam salat subuh di masjid Tebuireng, yang berada tepat di depan rumahnya, dilanjutkan dengan bacaan wirid yang cukup panjang. Selesai wirid, beliau mengajar kitab kepada para santri hingga menjelang matahari terbit. Diantara kitab yang diajarkan setelah subuh adalah al-Tahrir dan Al-Syifa fi Huquq al-Musthafa karya al-Qadhi ‘Iyadh.
Setelah selesai mengaji, Hadlratus Syeikh yang terbiasa berpuasa itu mememui para pekerja yang sudah berkumpul di samping rumah. Beliau membagi tugas kepada mereka; ada yang ditugaskan merawat sawah, membenahi fasilitas pondok, membenahi sumur, dan lain sebagainya. Setelah itu, beliau mendengarkan laporan-laporan mengenai hal-hal yang pernah beliau perintahkan.
Sekitar pukul 07.00, Kiai Hasyim mengambil air wudlu’ untuk salat dhuha. Beliau biasanya mengambil air wudhu di jeding samping ndalem dengan hanya mengenakan sarung dan kaos putih. Setelah salat dhuha, dilanjutkan dengan mengajar santri senior. Tempatnya di ruang depan ndalem. Kitab yang pernah diajarkan antara lain al-Muhaddzab karya al-Syairazi dan Al-Muattha’ karya Imam Malik ra. Pengajian ini berakhir pada pukul 10.00.
Mulai jam 10.00 pagi sampai jam 12 adalah waktu istirahat, yang digunakan untuk agenda-agenda seperti menemui tamu, membaca kitab, menulis kitab, dan lain-lain. Sebelum azan zuhur, kadang kala beliau menyempatkan diri untuk tidur sebentar (qailulah), sebagai bekal untuk qiyamul lail dan membaca al-Qur’an. Ketika azan zuhur berkumandang, beliau bangun dan mengimami salat zuhur berjama’ah di masjid. Selepas salat zuhur, beliau mengajar lagi sampai menjelang waktu asar.
Kira-kira setengah jam sebelum asar, Kiai Hasyim memeriksa pekerjaan para pekerja yang ditugasinya tadi pagi. Setelah menerima laporan, beliau kembali ke ndalem kemudian mandi.
Setelah terdengar azan asar, beliau kembali ke masjid dan mengimami salat ashar, dilanjutkan dengan mengajar para santri di masjid sampai menjelang masghrib. Kitab yang diajarkan adalah Fath al-Qarib. Pengajian ini wajib diikuti semua santri tanpa terkecuali. Hingga akhir hayatnya, kitab ini secara kontinue dibaca setiap selesai salat asar.
Setelah salat maghrib, Kiai Hasyim menyediakan waktu untuk menemui para tamu yang datang dari berbagai daerah, seperti Banyuwangi, Pasuruan, Malang, Surabaya, Madiun, Kediri, Solo, Jakarta, Jogyakarta, Kalimantan, Bima, Sumatra, Telukbelitung, Madura, Bali, dan masih banyak lagi. Dikisahkan oleh Nyai Marfu’ah, pembantu Kiai Hasyim, bahwa setiap harinya Kiai Hasyim menyediakan banyak makanan dan lauk-pauk untuk menjamu para tamu. Dalam satu hari, jumlah tamunya bisa mencapai 50 orang.
Setelah salat isya, beliau mengajar lagi di masjid sampai pukul sebelas malam. Materi yang biasa diajarkan adalah ilmu tashawuf dan tafsir. Di bidang tasawuf beliau membacakan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Imam al-Ghazali, dan untuk tafsir adalah Tafsir al-Quran al-Adzim karya Ibnu Kastir.
Setelah itu Kiai Hasyim muraja’ah Al-Qur’an dengan disimak oleh beberapa santri. Beliau mengahiri kegiatannya dengan beristirahat, mulai jam satu malam dan bangun satu kemudian untuk qiyamul lail dan membaca al-Quran. Menjelang waktu imsak (sekitar 10 menit sebelum Subuh), Kiai Hasyim sudah berkeliling pondok untuk membangunkan para santri agar segera mandi atau berwudlu’ guna malaksanakan salat tahajjud dan salat subuh. Ketika usianya sudah beranjak sepuh dan harus memakai tongkat untuk menyangga tubuhnya, Kiai Hasyim tetap menjalankan aktivitasnya membangunkan para santri menjelang subuh.
Kiai Hasyim juga dikenal sangat mencintai para santri. Keadaan ekonomi bangsa yang masih sangat lemah, secara otomatis mempengaruhi kemampuan ekonomi santri. Ada yang mondok hanya dengan bekal sekarung beras, bahkan ada yang tanpa bekal sedikitpun. Karena itu, Kiai Hasyim memberikan jatah makan harian kepada para santri yang tidak mampu. Lalu setiap hari Selasa, Kiai Hasyim mengajak mereka untuk berwiraswasta atau pergi ke sawah untuk bertani.
Kecintaan Kiai Hasyim pada dunia pendidikan terlihat dari pesan yang selalu disampaikan kepada setiap santri yang telah selesai belajar di Tebuireng: ”Pulanglah ke kampungmu. Mengajarlah di sana, minimal mengajar ngaji.”

Sistem Pendidikan di Masa Kiai Hasyim
Sejak awal berdirinya hingga tahun 1916, Pesantren Tebuireng menggunakan sistem pengajaran sorogan dan bandongan. Semua bentuk pengajaran tidak dibedakan dalam jenjang kelas. Kenaikan kelas diwujudkan dengan bergantinya kitab yang telah selesai dibaca (khatam). Materinya pun hanya berkisar pada materi Pengetahuan Agama Islam dan Bahasa Arab. Bahasa pengantarnya adalah Bahasa Jawa dengan huruf pego (tulisan Arab berbahasa Jawa).
Seiring perkembangan waktu, sistem dan metode pengajaran pun ditambah, diantaranya dengan menambah kelas musyawaroh sebagai kelas tertinggi. Santri yang berhasil masuk kelas musyawaroh jumlahnya sangat kecil, karena seleksinya sangat ketat.
Dalam 20 tahun pertama pertumbuhan Tebuireng, Kiai Hasyim banyak dibantu oleh saudara iparnya, KH. Alwi, yang pernah mengenyam pendidikan 7 tahun di Mekah. Tahun 1916, KH. Ma’shum Ali, menantu pertamanya, mengenalkan sistem klasikal (madrasah). Sistem madrasah merupakan sistem pengajaran yang diadopsi oleh Hadratusy Syeikh dari Mekah.
Tahun 1916, Madrasah Tebuireng membuka tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan sifir awal dan sifir tsani, yaitu masa persiapan untuk dapat memasuki masrasah lima tahun berikutnya. Para peserta sifir awal dan sifir tsani dididik secara khusus untuk memahami bahasa Arab sebagai landasan penting bagi pendidikan madrasah lima tahun.
Mulai tahun 1919, Madrasah Tebuireng secara resmi diberi nama Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Kurikulumnya ditambah dengan materi Bahasa Indonesia (Melayu), matematika, dan geografi. Lalu setelah kedatangan Kiai Ilyas tahun 1926, pelajaran ditambah dengan pelajaran Bahasa Belanda dan Sejarah. Tahun 1928 kedudukan Kiai Maksum sebagai kepala madrasah digantikan Kiai Ilyas, sedang Kiai Maksum sendiri ditunjuk oleh Kiai Hasyim untuk mendirikan Pesantren Seblak (sekitar 200 meter arah barat Tebuireng).

Pengajian Rutin Shahih Bukhari-Muslim
Meskipun sistem pengajaran di Tebuireng sudah berkembang pesat, namun tradisi pengajian yang diasuh Kiai Hasyim tetap bertahan. Apalagi beliau terkenal sangat disiplin dan istiqamah mengaji. Para santri tidak pernah bosan mengikuti pengajian beliau.
Kegiatan mengajar Kiai Hasyim diliburkan 2 kali dalam seminggu, yaitu pada Hari Selasa dan Hari Jum’at. Kiai Hasyim biasanya memanfaatkan 2 hari libur itu untuk mencari nafkah. Beliau memantau perkembangan sawah dan ladangnya yang berada kurang lebih 10 km sebelah selatan Tebuireng. Beliau juga memberi kesempatan kepada para santri untuk mengadakan kegiatan kemasyarakatan seperti jam’iyah. Sedangkan pada Hari Selasa, selain pergi ke sawah Kiai Hasyim juga sering bersilaturrahim ke sanak famili serta para santrinya yang mulai merintis pondok pesantren.
Hari libur ini dimanfaatkan oleh putranya, Abdul Wahid, untuk memberikan pelajaran bahasa asing, Inggris dan Belanda, kepada para santri. Meskipun pada awalnya Kiai Hasyim kurang setuju, namun Abdul Wahid mampu meyakinkan bahwa materi bahasa asing sangat penting bagi santri, sehingga Kiai Hasyim akhirnya membolehkan.
Selain mencari nafkah, pada hari Jum’at Kiai Hasyim juga memiliki kegiatan memperbanyak membaca al-Qur’an. Kemudian setelah salat jum’at, beliau memberikan pengajian umum kepada santri dan masyarakat. Dalam pengajian umum ini, Hadratus Syekh memberikan materi Tafsir al-Jalalain, sebuah kitab tafsir karya Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin Al-Suyuthi ra.
Kebiasaan lain yang tak pernah beliau tinggalkan ialah membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Beliau juga sering membaca kitab Dalail al-Khairat yang di dalamnya banyak terdapat shalawat. Ketika ada santri yang menganggur, beliau mengingatkannya untuk membaca shalawat agar waktu yang mereka miliki tidak sia-sia.
Pada bulan Ramadhan, Hadratus Syekh membacakan kitab Shahih Bukhari (4 jilid) dan Shahih Muslim (4 jilid) secara rutin. Pengajian ini dimulai pada tanggal 15 Sya’ban dan selesai pada tanggal 27 Ramadhan (kurang lebih 40 hari). Salah seorang gurunya bahkan pernah ikut ngaji kepada beliau. Menurut satu sumber, guru Kiai Hasyim yang pernah ngaji ke Tebuireng adalah Kiai Kholil Bangkalan, dan menurut sumber lainnya adalah Kiai Khozin Panji, Sidoarjo.

Dekat kepada Allah
Dikisahkan, ketika Hadratus Syeikh merasa amat letih karena siang harinya menghadiri kongres Nahdatul Ulama’ di Malang, beliau tidak bisa memberikan pelajaran di malam hari kepada para santri. Sehabis salat Isya beliau beristirahat tidur sangat pulas. Kiai Hasyim baru bangun pada pukul setengah tiga malam. Beliau langsung mengambil air wudhu, berpakaian rapi dan menjalankan salat tahajjud. Meskipun pada siang harinya belum makan, beliau tidak juga makan di malam hari, padahal persediaan makanan masih ada. Selesai salat tahajjud diiringi dengan wirid dan doa yang panjang, beliau mengambil al-Qur’an lalu dibacanya dengan perlahan-lahan sambil menghayati maknanya. Ketika sampai pada surat Ad-Dzariyat ayat 17-18 yang artinya:
Mereka (para shahabat Nabi) sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di waktu sahur (akhir malam) mereka memohon ampun [Ad-Dariyat:17-18].
Seketika itu beliau menghentikan bacaannya. Lalu terdengar suara tangis terisak-isak. Sejurus kemudian air mata telah membasahi jenggotnya yang sudah memutih. Kiai Hasyim merasa bahwa pada malam itu beliau terlalu banyak tidur. Sambil menengadahkan tangan, beliau berdo’a, ”Ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang lemah ini, dan berilah hamba kekuatan serta ketabahan untuk melaksanakan segala perintah-perintah-Mu.” Kemudian beliau bangkit dari tempat duduknya menuju tempat salat, lalu bersujud kepada Allah memohon ampun. Lisannya terus membaca tasbih.
Peristiwa seperti ini terjadi berulangkali. Setiap kali membaca ayat-ayat tentang siksa, ancaman, dan murka Allah, atau ayat-ayat yang menerangkan perintah-perintah Allah yang terlupakan oleh kaum muslimin, beliau selalu meneteskan air mata.

Suatu malam, Kiai Hasyim berniat tidur sejenak guna mengistirahatkan badan. Ketika sampai di tempat tidur, terdengar suara seorang santri dari masjid sedang membaca al-Qu’an surat al-Muzammil: 1-9 yang artinya:
”Wahai orang yang berselimut (Muhammad). Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari kecuali sedikit (dari padanya). Atau lebih dari seperdua (malam), dan bacalah al-Quran dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu di siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). Sebutlah nama Tuhanmu dan beribadahlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan. (Dialah) Tuhan masyriq dan maghrib, tiada tuhan melainkan Dia, maka jadikanlah Dia sebagai pelindung.” [al-Muzammil: 1-9]
Mendengar ayat itu, Kiai Hasyim yakin bahwa ini adalah teguran dari Allah Swt. melalui santrinya. Allah menegurnya agar tetap beribadah, jangan bermalas-malasan menuruti hawa nafsu. Akhirnya keinginan untuk tidur dibatalkan.

Diceritakan pula, pada tahun 1943, Kiai Hasyim diserang demam yang sangat hebat. Ketika telah masuk waktu zuhur, beliau memaksakan diri bangkit dari tempat tidur menuju kolam untuk mengambil air wudhu’. Beliau berjalan sambil dipapah oleh kedua putranya. Setelah mengambil air wudhu’, beliau memakai baju rapi disertai sorban untuk menuju masjid. Melihat hal ini, salah seorang putranya, Abdul Karim, berkata, ”Ayah, demam ayah sangat parah. Sebaiknya ayah salat di rumah saja!”
Beliau menjawab, ”Ketahuilah anakku, api neraka itu lebih panas dari pada demamku ini!” Kemudian beliau bangkit dari duduknya dan berjalan menuju masjid dengan dipapah.
Sepulang dari masjid, penyakitnya semakin parah. Sanak famili dan putra-putrinya berdatangan. Badannya terbujur lemah di atas tempat tidur. Kedua matanya terpejam tak sadarkan diri. Tapi tak lama kemudian, matanya terbuka seraya meneteskan air mata.
Adik perempuannya bertanya, ”Di manakah yang terasa sakit, kakak?”
Dengan nada sedih, Kiai Hasyim menjawab, ”Aku menangis bukan karena penyakitku, bukan pula karena takut mati atau berat berpisah dengan famili. Aku merasa belum mempunyai amal shaleh sedikitpun. Masih banyak perintah-perintah Allah yang belum aku kerjakan. Alangkah malunya aku menghadap Allah dengan tangan hampa, tiada mempunyai amal kebaikan sedikitpun. Itulah sebabnya aku menangis.”

Karya-Karya Kiai Hasyim
Disamping aktif mengajar, berdakwah, dan berjuang, Kiai Hasyim juga penulis yang produktif. Beliau meluangkan waktu untuk menulis pada pagi hari, antara pukul 10.00 sampai menjelang dzuhur. Waktu ini merupakan waktu longgar yang biasa digunakan untuk membaca kitab, menulis, juga menerima tamu.
Karya-karya Kiai Hasyim banyak yang merupakan jawaban atas berbagai problematika masyarakat. Misalnya, ketika umat Islam banyak yang belum faham persoalan tauhid atau aqidah, Kiai Hasyim lalu menyusun kitab tentang aqidah, diantaranya Al-Qalaid fi Bayani ma Yajib min al-Aqaid, Ar-Risalah al-Tauhidiyah, Risalah Ahli Sunnah Wa al-Jama’ah, Al-Risalah fi al-Tasawwuf, dan lain sebagainya.
Kiai Hasyim juga sering menjadi kolumnis di majalah-majalah, seperti Majalah Nahdhatul Ulama’, Panji Masyarakat, dan Swara Nahdhotoel Oelama’. Biasanya tulisan Kiai Hasyim berisi jawaban-jawaban atas masalah-masalah fiqhiyyah yang ditanyakan banyak orang, seperti hukum memakai dasi, hukum mengajari tulisan kepada kaum wanita, hukum rokok, dll. Selain membahas tentang masail fiqhiyah, Kiai Hasyim juga mengeluarkan fatwa dan nasehat kepada kaum muslimin, seperti al-Mawaidz, doa-doa untuk kalangan Nahdhiyyin, keutamaan bercocok tanam, anjuran menegakkan keadilan, dll.

Karya-karya KH. M. Hasyim Asy'ari yang dapat di telusuri hingga saat ialah:
  1. Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan. Berisi tentang tata cara menjalin silaturrahim, bahaya dan pentingnya interaksi sosial. Tebal 17 halaman, selesai ditulis hari Senin, 20 Syawal 1360 H., penerbit Maktabah Al-Turats Al-Islami Ma’had Tebuireng.
  2. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama. Pembukaan undang-undang dasar (landasan pokok) organisasi Nahdhatul Ulama’. Tebal 10 halaman. Berisikan ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan Nahdhatul Ulama’ dan dasar-dasar pembentukannya disertai beberapa hadis dan fatwa-fatwa Kiai Hasyim tentang berbagai persoalan. Pernah dicetak oleh percetakan Menara Kudus tahun 1971 M. dengan judul, ”Ihya’ Amal al-Fudhala’ fi al-Qanun al-Asasy li Jam’iyah Nahdhatul Ulama’”.
  3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah. Risalah untuk memperkuat pegangan atas madzhab empat. Tebal 4 halaman, berisi tentang perlunya berpegang kepada salah satu diantara empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali). Di dalamnya juga terdapat uraian tentang metodologi penggalian hukum (istinbat al-ahkam), metode ijtihad, serta respon atas pendapat Ibn Hazm tentang taqlid.
  4. Mawaidz. Beberapa Nasihat. Berisi fatwa dan peringatan tentang merajalelanya kekufuran, mengajak merujuk kembali kepada al-Quran dan hadis, dan lain sebagainya. Testament keagamaan ini pernah disiarkan dalam kongres Nahdhatul Ulama’ ke XI tahun 1935 di Kota Bandung, dan pernah diterjemahkan oleh Prof. Buya Hamka dalam majalah Panji Masyarakat no.5 tanggal 15 Agustus 1959, tahun pertama halaman 5-6.
  5. Arba’in Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jam’lyah Nahdhatul Ulama’. 40 hadits Nabi yang terkait dengan dasar-dasar pembentukan Nahdhatul Ulama’.
  6. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin. Cahaya yang jelas menerangkan cinta kepada pemimpin para rasul. Berisi dasar kewajiban seorang muslim untuk beriman, mentaati, meneladani, dan mencintai Nabi Muhammad SAW. Tebal 87 halaman, memuat biografi singkat Nabi SAW mulai lahir hingga wafat, dan menjelaskan mu’jizat shalawat, ziarah, wasilah, serta syafaat. Selesai ditulis pada 25 Sya’ban 1346 H., terdiri dari 29 bab.
  7. At-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat. Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran. Ditulis berdasarkan kejadian yang pernah dilihat pada malam Senin, 25 Rabi’ al-Awwal 1355 H., saat para santri di salah satu pesantren sedang merayakan Maulid Nabi yang diiringi dengan perbuatan mungkar, seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan, permainan yang menyerupai judi, senda gurau, dll. Pada halaman pertama terdapat pengantar dari tim lajnah ulama al-Azhar, Mesir. Selesai ditulis pada 14 Rabi’ at-Tsani 1355 H., terdiri dari 15 bab setebal 63 halaman, dicetak oleh Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng, cetakan pertama tahun 1415 H.
  8. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat as-Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah. Risalah Ahl Sunnah Wal Jama’ah tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan bid’ah. Berisi 9 pasal.
  9. Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani. Catatan seputar nadzam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasir. Di dalamnya juga terdapat banyak pasal berbahasa Jawa dan merupakan fatwa Kiai Hasyim yang pernah dimuat di Majalah Nahdhatoel Oelama’. Tebal 144 halaman.
  10. Dhau’ul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah. Cahayanya lampu yang benderang menerangkan hukum-hukum nikah. Berisi tata cara nikah secara syar’i; hukum-hukum, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan. Kitab ini biasanya dicetak bersama kitab Miftah al-Falah karya almarhum Kiai Ishamuddin Hadziq, sehingga tebalnya menjadi 75 halaman.
  11. Ad-Durrah al Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘Asyarah. Mutiara yang memancar dalam menerangkan 19 masalah. Berisi kajian tentang wali dan thariqah dalam bentuk tanya-jawab sebanyak 19 masalah. Tahun 1970-an kitab ini diterjemahkan oleh Dr. KH. Thalhah Mansoer atas perintah KH. M. Yusuf Hasyim, dierbitkan oleh percetakan Menara Kudus. Di dalamnya memuat catatan editor setebal xxxiii halaman. Sedangkan kitab aslinya dimulai dari halaman 1 sampai halaman 29.
  12. Al-Risalah fi al-’Aqaid. Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid, pernah dicetak oleh Maktabah an-Nabhaniyah al-Kubra Surabaya, bekerja sama dengan percetakan Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir tahun 1356 H./1937M. Dicetak bersama kitab Kiai Hasyim lainnya yang berjudul Risalah fi at-Tashawwuf serta dua kitab lainnya karya seorang ulama dari Tuban. Risalah ini ditash-hih oleh syeikh Fahmi Ja’far al-Jawi dan Syeikh Ahmad Said ‘Ali (al-Azhar). Selelai ditash-hih pada hari Kamis, 26 Syawal 1356 H/30 Desember 1937 M.
  13. Al-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang tashawuf; penjelasan tentang ma’rifat, syariat, thariqah, dan haqiqat. Ditulis dengan bahasa Jawa, dicetak bersama kitab al-Risalah fi al-‘Aqaid.
  14. Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaju ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limih wama Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi Maqat Ta’limih. Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar dan pendidik, merupakan resume dari Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhammad bin Sahnun (w.256 H/871 M); Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum karya Syeikh Burhanuddin al-Zarnuji (w.591 H); dan Tadzkirat al-Saml wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Syeikh Ibn Jama’ah. Memuat 8 bab, diterbitkan oleh Maktabah at-Turats al-Islamy Tebuireng. Di akhir kitab terdapat banyak pengantar dari para ulama, seperti: Syeikh Sa’id bin Muhammad al-Yamani (pengajar di Masjidil Haram, bermadzhab Syafii), Syeikh Abdul Hamid Sinbal Hadidi (guru besar di Masjidil Haram, bermadzhab Hanafi), Syeikh Hasan bin Said al-Yamani (Guru besar Masjidil Haram), dan Syeikh Muhammad ‘Ali bin Sa’id al-Yamani.

Selain kitab-kitab tersebut di atas, terdapat beberapa naskah manuskrip karya KH. Hasyim Asy'ari yang hingga kini belum diterbitkan. Yaitu:
  1. Hasyiyah ‘ala Fath ar-Rahman bi Syarh Risalah al-Wali Ruslan li Syeikh al-Islam Zakariya al-Anshari.
  2. Ar-Risalah at-Tawhidiyah
  3. Al-Qala’id fi Bayan ma Yajib min al-Aqa’id
  4. Al-Risalah al-Jama’ah
  5. Tamyiz al-Haqq min al-Bathil
  6. Al-Jasus fi Ahkam al-Nuqus
  7. Manasik Shughra

Komite Hijaz dan Pendirian NU
Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional. Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.
Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid hadratus syeikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik.
Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bid’ah.
Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati keberagaman, menolak pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kiai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH. Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya. Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Tahun 1924, kelompok diskusi taswirul afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus syeikh KH. Hasyim Asy'ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah, menohon petunjuk dari Allah.
Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum dating juga. Kiai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan.
Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kiai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kiai Hasyim. Kiai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tongkat kepada Kiai Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kiai Hasyim.
Ketika Kiai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata.
Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kiai Hasyim masih menunggu kemantapan hati.
Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratus Syeikh. ”Kiai, saya diutus oleh Kiai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kiai Kholil di lehernya. Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah kiai, maka yang boleh melepasnya juga harus kiai”. Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru.
”Kiai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad.
Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kiai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syeikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui salat istikharah.
Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kiai Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu.
Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kiai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.
Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Semangat Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah. Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912).
Kiai Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al-Quran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kiai Hasyim ini memperoleh dukungan para kiai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kiai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para kiai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini.
Pada saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kiai Hasyim dengan putranya Kiai Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942).

Berjuang Mengusir Penjajah
Masa awal perjuangan Kiai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda.
Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menagkap Kiai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan.
Dalam pemeriksaan, Kiai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum.
Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.
Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang. Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.
Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syeikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kiai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang.
Kiai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah SWT lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kiai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syeikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kiai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.
Setelah penahanan Hadratus Syeikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syeikh tercerai berai. Isteri Kiai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kiai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para kiai dan santri. Selain itu, pembebasan Kiai Hasyim juga berkat usaha dari Kiai Wahid Hasyim dan Kiai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.
Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kiai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.
Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kiai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947.
Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kiai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kiai Hasyim.

Dipanggil Yang Kuasa
Malam itu, tanggal 3 Ramadhan 1366 H., bertepatan dengan tanggal 21 Juli 1947 M. jam 9 malam, Kiai Hasyim baru saja selesai mengimami salat Tarawih. Seperti biasa, beliau duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, datanglah seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Kiai Hasyim menemui utusan tersebut didampingi Kiai Ghufron (pimpinan Laskar Sabilillah Surabaya). Sang tamu menyampaikan surat dari Jenderal Sudirman.
Kiai Hasyim meminta waktu satu malam untuk berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya. Isi pesan tersebut adalah:
1. Di wilayah Jawa Timur Belanda melakukan serangan militer besar-besaran untuk merebut kota-kota di wilayah Karesidenan Malang, Basuki, Surabaya, Madura, Bojonegoro, Kediri, dan Madiun.
2. Hadiratus Syeikh KH.M. Hasyim Asy'ari diminta mengungsi ke Sarangan, Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda. Sebab jika tertangkap, beliau akan dipaksa membuat statemen mendukung Belanda. Jika hal itu terjadi, maka moral para pejuang akan runtuh.
3. Jajaran TNI di sekitar Jombang diperintahkan membantu pengungsian Kiai Hasyim.

Keesokan harinya, Kiai Hasyim memberi jawaban tidak berkenan menerima tawaran tersebut.
Empat hari kemudian, tepatnya pada tanggal 7 Ramadhan 1366 M., jam 9 malam, datang lagi utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang utusan membawa surat untuk disampaikan kepada Hadratusy Syeikh. Bung Tomo memohon Kiai Hasyim mengeluarkan komando jihad fi sabilillah bagi umat Islam Indonesia, karena saat itu Belanda telah menguasai wilayah Karesidenan Malang dan banyak anggota laskar Hizbullah dan Sabilillah yang menjadi korban. Hadratusy Syeikh kembali meminta waktu satu malam untuk memberi jawaban.
Tak lama berselang, Hadratusy Syeikh mendapat laporan dari Kiai Ghufron (pemimpin Sabilillah Surabaya) bersama dua orang utusan Bung Tomo, bahwa kota Singosari Malang (sebagai basis pertahanan Hizbullah dan Sabilillah) telah jatuh ke tangan Belanda. Kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban rakyat sipil kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berujar, ”Masya Allah, Masya Allah…” sambil memegang kepalanya. Lalu Kiai Hasyim tidak sadarkan diri.


Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada di Tebuireng. Tapi tak lama kemudian mereka mulai berdatangan setelah mendengar ayahandanya tidak sadarkan diri. Menurut hasil pemeriksaan dokter, Kiai Hasyim mengalami pendarahan otak (asemblonding) yang sangat serius.
Pada pukul 03.00 dini hari, bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1947 atau 7 Ramadhan 1366 H, Hadratuys Syeikh KH.M. Hasyim Asy'ri dipanggil yang Maha Kuasa. Inna liLlahi wa Inna Ilayhi Raji’un.

Atas jasanya selama perang kemerdekaan melawan Belanda (1945-1947), terutama yang berkaitan dengan 3 fatwanya yang sangat penting: Pertama, perang melawan Belanda adalah jihad yang wajib dilaksanakan oleh semua umat Islam Indonesia. Kedua, kaum Muslimin diharamkan melakukan perjalanan haji dengan kapal Belanda. Ketiga, Kaum Muslimin diharamkan memakai dasi dan atribut-atribut lain yang menjadi ciri khas penjajah. Maka Presiden Soekarno lewat Keputusan Presiden (Kepres) No. 249/1964 menetapkan bahwa KH. Muhammad Hasyim Asy’ari sebagai Pahlawan Nasional. (diolah dari berbagai sumber)